SOLOPOS.COM - Abdul Jalil (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Sepekan  terakhir ruang maya dan nyata riuh rendah membahas wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur masa jabatan kepala desa enam tahun dan bisa dipilih selama tiga periode. Nyaris tidak ada opini di pers dan media sosial yang mendukung wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa.

Promosi Selamat Datang di Liga 1, Liga Seluruh Indonesia!

Sebagian besar warga menyampaikan opini negatif, bahkan umpatan. Opini yang berkembang di kalangan masyarakat tidak jauh berbeda dengan yang berkembang di dunia maya.

Pada Minggu (29/1/2023) malam, saat saya nongkrong di warung kopi langganan saya, ada beberapa pemuda yang  duduk dan membentuk forum. Dalam obrolan dengan beragam tema, wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi salah satu tema yang dperibincangkan.

Tidak ada seorang pun yang mendukung wacana tersebut. Mereka menganggap usulan para kepala desa itu hanya upaya untuk melanggengkan kekuasaan. Klaim yang disuarakan terkait wacana tersebut adalah aspirasi dari bawah hanya klaim semata. Bukan hanya rakyat umum yang resisten terhadap wacana itu.

Para akademisi dan pengamat demokrasi juga gerah terhadap wacana itu. Mereka tidak sepakat dengan wacana yang disuarakan para kepala desa.  Sebenarnya wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa muncul atau dimunculkan para elite politik nasional pada tahun lalu.

Saya sebagai warga desa hanya bisa ngelus dhadha, kenapa ada pikiran memperpanjang masa jabatan itu? Saat ini masa jabatan kepala desa tergolong lebih panjang dibandingkan jabatan kepala daerah, bahkan presiden, yaitu enam tahun.

Masa jabatan kepala daerah dan presiden hanya lima tahun. Periodisasi jabatan kepala desa juga lebih lama. Kepala desa bisa menjabat tiga periode. Kepala daerah dan presiden hanya dua periode.

Para kepala desa lebih baik bekerja maksimal menyejahterakan masyarakat dan mengembangkan potensi desa daripada memikirkan perpanjangan masa jabatan.

Lebih baik mereka mengelola dana desa dengan baik serta sesuai target. Masa jabatan enam tahun selama tiga periode itu sangat cukup untuk membangun desa. Menarik melihat wacana ini dieembuskan.

Laporan Tempo menjelaskan sejumlah partai politik ikut mengemukakan wacana ini, yakni PDIP dan PKB. Politikus PDIP Budiman Sudjatmiko dan Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto ujung tombak mengomunikasikan wacana ini pada saat pertemuan Asosiasi Kepala Desa (AKD) Cabang Jawa Timur di Kabupaten Ngawi pada November 2022.

Dukungan elite terhadap wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa mengalir dari PKB melalui Menteri  Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar. Para politikus ini tampaknya sadar betul apa yang diinginkan penguasa-penguasa desa.

Desa adalah lumbung suara dalam pemilihan umum (pemilu). Sulit tidak mengaitkan agenda elite partai politik dengan Pemilu 2024 dalam wacana ini. Sejumlah kepala desa mengancam akan menghabisi suara partai politik pada Pemilu 2024 yang tidak mendukung wacana ini.

Alasan Mengada-ada

Ancaman disampaikan secara terbuka saat mereka berunjuk rasa di Jakarta pada pekan lalu. Alasan yang disampaikan para kepala desa pendukung wacana ini adalah konflik horizontal yang terjadi setelah pemilihan kepala desa.

Mereka mengatakan butuh dua tahun untuk menyelesaikan konflik sosial di desa, setelah itu atau tahun ketiga baru bisa menjalankan visi dan misi. Sedangkan pada tahun keenam, mereka menyiapkan diri untuk pemilihan kepala desa lagi.

Alasan ini mengada-ada dan mengolok-ngolok logika masyarakat. Seolah-olah semua orang gampang dibodohi dengan alasan tak logis itu. Perlu diingat, menjadi kepala desa itu setelah dilantik. Itu waktu untuk memulai merealisasikan visi dan misi atau janji kampanye.

Memulainya bukan setelah konflik rampung. Persoalan polarisasi atau perpecahan masyarakat itu tantangan bagi kepala desa untuk menyelesaikan. Menyalahkan konflik sosial tanpa merasa bersalah tentu menjadi masalah.

Seolah-olah para kepala desa ini tidak masuk dan terlibat dalam konflik yang diciptakan sendiri saat berkompetisi. Kalau persoalannya menyelesaikan konflik sosial, seharusnya presiden yang mengajukan perpanjangan masa jabatan, mungkin bisa 10 tahun dalam satu periode.

Faktanya, polarisasi pascapemilu tidak kalah memuakkan, bahkan perpecahannya sampai saat ini. Perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun sangat rawan penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.

Saya teringat kata Lord Acton, power tends to corrupts, and absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.

Dengan masa jabatan enam tahun, sejak pemerintah menggelontorkan dana desa, banyak kepala desa terjerat kasus korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sepanjang 2015-2021 ada 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp433,8 miliar.

Masa jabatan yang terlalu lama bagi kepala desa tentu semakin menyuburkan budaya kolusi dan nepotisme. Jangan sampai masa jabatan yang terlalu lama membuat seseorang berkuasa dengan karakter oligarki.

Dalam iklim demokrasi, siapa saja bisa menduduki jabatan kepala desa, namun kalau terlalu lama tentu menyulitkan regenerasi kepemimpinan. Jangan sampai masa jabatan membuat calon pemimpin yang potensial malah terkubur dalam kesialan.

Dalam suatu penelitian ilmiah, Dian Herdiana (2019) menyimpulkan besarnya kewenangan pemerintah desa menempatkan kepala desa sebagai sentral pembangunan desa yang dalam praktiknya kewenangan tersebut dimanfaatkan oleh sebagian kepala desa untuk korupsi.



Kekuasan dan kewenangan yang cukup besar dari kepala desa tanpa diimbangi dengan lembaga yang benar-benar bisa mengontrol kewenangan tentu akan membuat semakin sewenang-wenang.

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang memiliki kewajiban mengawasi kepala desa ternyata tidak berjalan secara optimal. Partai politik yang sejak awal mengembuskan atau mendukung wacana ini harus segera menghentikan wacana tersebut.

Jangan sampai isu-isu kontraproduktif terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia terus didengungkan, apalagi menukar dengan politik transaksional dengan para pemimpin-pemimpin di desa.

Daripada mengawal wacana yang tidak perlu dan cenderung lancung, para elite dan politikus lebih baik memperkuat lembaga BPD supaya bisa lebih optimal dalam mengawasi kinerja kepala desa. Setop dan sudahi wacana masa jabatan kepala desa sembilan tahun!

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 31 Januari 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya