SOLOPOS.COM - Dwi Haryanto (Solopos/Istimewa)

Kamis pagi di sudut lapangan Banyuanyar tampak lima pekerja duduk lesu. Tak seperti biasanya mereka yang berrtugas di lapangan itu selalu bersemangat bekerja dalam mempersiapkan salah satu venue latihan negara peserta Piala Dunia yang bertanding di Stadion Manahan. Apa yang mereka kerjakan selama ini seperti telah muspra. Impian hasil kerjanya dipakai di ajang kelas dunia tiba-tiba sirna seusai FIFA secara resmi membatalkan perhelatan Piala Dunia U-20 di Indonesia. Para pekerja itu tentu bukan satu-satunya pihak yang kecewa berat. Hampir semua pecinta sepak bola Indonesia merasa pupus harapannya. Pemerintah Kota Solo juga belum tahu peruntukan lapangan yang sudah dipoles selama tiga tahun terakhir ini.

Semuala gelaran Piala Dunia U-20 di Indonesia memang membutuhkan lapangan latih atau lapangan pendamping venue utama bagi peserta perhelatan. Tak terkecuali di Kota Solo. Dengan ditunjuknya Stadion Manahan sebagai venue utama, mau tidak mau harus disediakan lapangan pendamping sebagai tempat latihan negara peserta World Cup U-20. Dan syarat tersebut memang bersifat mutlak yang diharuskan FIFA.

Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia

Merespons syarat tersebut, Pemkot Solo pada 2020 lalu telah mengajukan sekaligus memperbaiki beberapa lapangan sepakbola yang lokasinya tak jauh dari Stadion Manahan dan masih berada di dalam kota. Lapangan yang diperbaiki dan dipoles tersebut antara lain; Lapangan Sriwaru, Lapangan Kottabarat, Lapangan Banyuanyar, dan Stadion Sriwedari. Perbaikan meliputi pembuatan drainase di dasar permukaan lapangan serta pergantian rumput yang jenisnya sama dengan yang ada venue utama.

Syarat tersebut, praktis membuat lapangan terpilih tak bisa dipakai umum sebagai tempat atau pusat kegiatan masyarakat pada umumnya. Kesebelasan lokal dan sekolah sepak bola (SSB) yang rutin atau telah lama memanfaatkan lapangan pun juga tak lagi bisa memakai untuk sementara waktu termasuk hak penggunaan fasilitas publik itu untuk kegiatan nonsepak bola, semisal pasar malam  atau bazar, Salat Id, dan juga kegiatan olahraga bagi sekolah-sekolah di sekitar lapangan.

Kini piala dunia telah dibatalkan. Dan nasib sepak bola Indonesia ke depannya juga tidak pasti. Lantas akan diapakan lapangan yang selama ini telah direnovasi dan dirawat?

Disewakan untuk umum yang dananya untuk perawatan ataukah dibiarkan saja untuk kegiatan warga secara gratis? Mengingat biaya renovasinya yang besar sepertinya sayang bila terus diabaikan. Namun bila disewakan, tentu tak semua warga bisa memanfaatkannya.

Hakikatnya, lapangan di suatu desa adalah pusat kegiatan masyarakat, dan ini mungkin hanya ada di Indonesia. Lapangan adalah alun-alun desa yang dimiliki bersama dan digunakan dalam beragam acara oleh masyarakat tersebut.  Lain dengan di luar negeri lapangan bola umumnya milik pribadi dan hanya untuk satu jenis olahraga, sehingga fasilitasnya terjaga dan sesuai dengan olahraga tersebut.

Lapangan desa di Jawa pada abad 18 Masehi yang umumnya ada di setiap desa atau kelurahan merupakan alun-alun desa, sebagai tempat bertemu antara jagabaya atau lurah dengan warganya. Hal ini meniru dari raja Jawa atau bupati di Jawa yang memiliki alun-alun kota sebagai tempat untuk kegiatan umum warga. Sehingga jangan heran setiap desa di Indonesia memiliki satu lapangan untuk kegiatan masyarakat.

Lambat laun lapangan desa digunakan untuk kegiatan olahraga dan kegiatan sosial lainnya. Seiring perkembangan sepak bola, banyak lapangan desa digunakan sebagai tempat pertandingan dan latihan sepak bola, namun statusnya tetap sarana umum bukan milik perorangan, meski kini dimiliki pemkot. Bahkan di Solo, klub-klub SSB memanfaatkan lapangan untuk kegiatan belajar menjadi pemain bola, seperti PS Ster, IM, AT Farmasi, TNH, POP dan lain-lain.

Dengan mengacu pada hakikat tersebut, berarti hak-hak warga dalam menggunakan lapangan itu terganggu dengan adanya kepentingan negara. Namun hal itu masih bisa dimaklumi oleh semua pihak, karena memang menjadi kewajiban semua pihak atas kepentingan negara.

Namun yang  jadi pertanyaan adalah apakah setelah gelaran Piala Dunia U-20 itu usai, lapangan-lapangan  tersebut akan dikembalikan untuk kepentingan umum sebagaimana hakikatnya atau berubah menjadi komersial?

Memang dari renovasi akibat event itu, lapangan telah berubah wajah, yang tadinya tanpa lampu menjadi ada lampu, yang tadinya tidak tertata menjadi lebih terlihat estetik, yang tadinya tidak rata permukaan dengan rumput desa kini menjadi lebih halus dengan rumput berstandar internasional. Tentunya potensi dikomersialkan tetap ada. Karena perawatan sebuah lapangan sepak bola dengan rumput jenis Zoziya Japonica atau Zosyia Zeon memang tidak murah.

Namun bila komersialisasi itu dilakukan, berarti hakikat keberadaan lapangan desa akan tersamarkan atau bahkan tercabut dari fungsi utamanya. Memang keinginan warga  lapangan tetap ada perawatan namun tidak mulak dikomersialkan bagi warga lokal. Sebab Lapangan seperti Banyuanyar atau Mangkubumen awalnya milik warga kampung atau kelurahan di mana tempat tersebut berada. Bagaimana baiknya lapangan itu nanti bisa dikelola dengan baik namun tidak mengabaikan kepentingan warga yang memaaakainya secara massif. Dan tentunya setelah event usai lapangan juga tidak dibiarkan terbengkalai.

(Artikel ini telah dimuat di Harian Solopos, Jumat, 31 Maret 2023. Penulis adalah peserta latihan klub PSB Banyuanyar era 1994-1997, yang menggunakan Lapangan Banyuanyar)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya