SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sri Suwarno

Dosen Universitas Kristen
Duta Wacana Jogja
Mahasiswa S3 Ilmu Komputer
Fakultas MIPA
Universitas Gadjah Mada

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Pada Selasa (17/4) lalu Polri secara resmi meluncurkan program Indonesian Automatic Fingerprint Identification System (INAFIS). INAFIS pada dasarnya adalah sistem identifikasi berbasis sidik jari. Pada sistem INAFIS  ini sejumlah data pribadi seseorang, khususnya sidik jari, disimpan pada smart card semacam kartu ATM.  Biaya pembuatan kartu ini kabarnya senilai Rp35.000.
Sejumlah kalangan termasuk beberapa anggota DPR menanggapinya dengan berbagai komentar. Sebagian besar komentar mempertanyakan apakah penggunaan kartu tersebut tidak akan tumpang tindih dengan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) dan apakah biayanya tidak terlalu mahal. Dari kalangan praktisi teknologi informatika mempertanyakan apakah kita sudah memiliki infrastruktur yang memadai untuk mendukung pemberlakuan sistem tersebut.
Tulisan ini tidak akan membahas pro dan kontra terkait dengan program e-KTP maupun INAFIS, tetapi akan menyoroti sidik jari dari segi teknis. Mengapa sidik jari dipilih  sebagai alat bukti diri?  Bagaimana caranya dan di mana data sidik jari yang jumlahnya ratusan juta harus disimpan supaya mudah diakses dan tidak mudah hilang ?
Dalam sejumlah literatur disebutkan bahwa sidik jari dipilih sebagai alat bukti diri karena memiliki sifat sangat unik dan permanen, dalam arti tidak ada sidik jari yang sama dan polanya tidak akan berubah seumur hidup pemiliknya. Kerusakan sidik jari hanya terjadi karena faktor fisik semacam luka bakar atau luka teriris atau kapalan.
Sebagai alat bukti diri, sidik jari memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan bukti diri yang lain, semacam personal identification number (PIN), password dan tanda tangan. Kelebihan utama dari sidik jari adalah selalu terbawa oleh pemiliknya, tidak mungkin ketinggalan dan sangat sulit dipalsukan. Sidik jari juga tidak perlu dihafal bentuknya, tidak seperti PIN atau password yang harus dihafal kodenya.
Dari sisi empiris sidik jari sudah diakui dan digunakan sebagai alat bukti hukum di berbagai negara. Scotland Yard di Inggris dan Federal Beureu Investigation (FBI) di Amerika Serikat sudah lama menggunakan sidik jari sebagai alat bukti hukum yang sah.
Bahkan untuk menjunjukkan keandalan sidik jari sebagai alat bukti forensik, pada 1954 terbit sebuah buku berjudul Fingerprints Never Lie (Sidik Jari Tak Pernah Bohong) yang merupakan autobiogafi Frederick R Cherrill, seorang detektif terkenal dari Scotland Yard Inggris yang terkenal sukses memecahkan banyak kasus pembunuhan melalui pembuktian lewat sidik jari. Selain itu, FBI dikabarkan pada 1995 telah menyimpan data sidik jari sebanyak 200 juta dan setiap hari bertambah sekitar 30.000 sidik jari.

Penggunaan dan Kendalanya
Dalam konteks pemanfaatan sidik jari, ada dua istilah yang hampir sama tetapi tujuannya berbeda yaitu identifikasi dan verifikasi. Identifikasi adalah proses pencocokan suatu sidik jari dengan seluruh data sidik jari yang tersimpan dalam database.
Identifikasi berusaha mengetahui siapa pemilik sidik jari yang ditemukan di suatu tempat. Sedangkan verifikasi adalah poses pencocokan sidik jari untuk menentukan apakah pemiliknya adalah pemilik yang sah. Mesin presensi yang sekarang banyak digunakan di kantor-kantor, termasuk di Gedung DPR Senayan, adalah contoh pemanfaatan  sidik jari sebagai alat verifikasi.
Seiring dengan perkembangan bisnis berbasis elektronik yang memungkinkan transaksi bisnis dilakukan secara online, kebutuhan akan alat bukti yang andal adalah mutlak. PIN dan password  sudah lama digunakan namun saat ini tidak lagi menjadi alat verifikasi yang andal karena keduanya mudah dipalsukan dan dibobol.
Akhirnya para ahli keamanan online memilih alat bukti diri biometric, misalnya sidik jari dari iris mata, sebagai alat pengaman transaksi pengganti atau digabungkan dengan PIN dan password yang sudah ada. Meskipun penggunaan sidik jari sangat menjanjikan, namun bukan berarti tanpa kendala.
Secara teknis, identifikasi dan verifikasi sidik jari adalah proses yang rumit dan memerlukan keahlian yang  sangat khusus. Sejauh ini instansi yang memiliki ahli semacam itu hanyalah kepolisian dan instansi lain yang terkait dengan proses penyidikan.
Dengan melihat kondisi ini tentunya sangat tidak praktis kalau proses verifikasi dalam suatu tranksaksi bisnis masih dilakukan secara manual oleh ahli yang jumlahnya sangat terbatas.       Untuk mengatasi masalah tersebut diciptakanlah otomatisasi verifikasi sidik jari dengan komputer yang disebut AFIS. Secara prinsip AFIS akan melakukan proses verifikasi secara otomatis dengan memanfaatkan aplikasi yang dipasang pada komputer atau alat-alat smartcard reader.
Verifikasi sidik jari dengan komputer sangatlah rumit dan memerlukan program aplikasi yang rumit pula. Itulah sebabnya maka mesin presensi tidak selalu sukses mengenali sidik jari para pegawai dan berkali-kali mengeluarkan pesan please try again atau mesin tersebut bahkan keliru mengenali seseorang dan menganggapnya sebagai orang lain.
Kendala lain yang tidak kalah seriusnya adalah masalah kapasitas penyimpan. Berapa besar kapasitas memori yang diperlukan untuk menyimpan data sidik jari yang sangat banyak ? Sebagai gambaran, sidik jari yang disimpan dalam bentuk gambar digital berukuran 200 piksel x 200 piksel akan memakan memori kira-kira 200 KB.
Kalau setiap orang diambil sampel sidik jarinya sebanyak 10, maka untuk menyimpan sidik jari setiap orang diperlukan memori komputer sebanyak 2.000 KB atau sekitar dua megabyte. Dengan hitungan kasar semacam ini, untuk menyimpan data sidik jari penduduk seluruh Indonesia, berapa banyak hard disk yang diperlukan ? Belum lagi kalau data tersebut harus diakses lewat jaringan internet, betapa lamanya waktu yang diperlukan untuk mencari sidik jari seseorang lewat internet.
Kendala memori ini semakin terasa kalau sidik jari disimpan dalam smartcard. Smartcard adalah kartu yang terbuat dari plastik dan ditempeli chip sebagai tempat menyimpan data digital. Kartu ATM, kartu kredit, kartu e-KTP dan nantinya kartu INAFIS adalah contoh-contoh smartcard.
Sejauh ini kapasitas chip yang dapat ditempel pada smartcard paling besar hanya 256 kilobyte, berarti hampir habis hanya untuk menyimpan data sidik jari. Terkait dengan masalah kapasitas penyimpanan memang sudah diatasi melalui metode kompresi data dan pengodean. Dengan teknik kompresi data maka ukuran file gambar sidik jari dapat diperkecil.
Melalui teknik pengodean gambar tidak perlu disimpan sebagai kumpulan piksel tetapi sebagai deretan kode yang lebih ringkas. Namun, karena jumlah sidik jari yang sangat banyak dan semakin bertambah, masalah penyimpanan dan pengiriman tetap menjadi kendala teknis.
Dari semua bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kendala terbesar pemanfaatan sidik jari sebagai alat bukti diri adalah masalah penyimpanan, pengiriman dan infrastruktur. Selain itu alat-alat pendukung untuk pengambilan sidik jari maupun alat pembaca smartcard  belumlah seandal yang diharapkan.
Mudah-mudahan dengan semakin berkembangnya teknologi digital, e-KTP dan INAFIS memiliki tingkat keandalan yang tinggi sehingga akan mempermudah dan memperlancar pelayanan publik di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya