SOLOPOS.COM - Rudi Hartono (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – “Aku  benci pemilu,” kata seorang kawan saya.

“Loh, memang kenapa?” saya bertanya kepada kawan saya itu karena kaget setelah kawan saya itu ujug-ujug melontarkan isi kepalanya sembari men-scroll lini masa X (dulu Twitter).

Promosi Selamat Datang Kesatria Bengawan Solo, Kembalikan Kedigdayaan Bhineka Solo

Rupanya dia jengah dengan kebencian-kebencian yang diumbar tentang semua hal terkait kontestasi pemilihan presiden dan calon wakil presiden sebagai bagian pemilihan umum (pemilu) serentak pada 2024, terutama di media sosial.

Banyak yang mengunggah konten untuk menghimpun kebencian terhadap calon presiden/calon wakil presiden tertentu dengan harapan ia tak dipilih dalam Pemilu 2024. Perang unggahan dan komentar yang menonjolkan kebencian antarpendukung, buzzers, atau sebutan lainnya tak terelakkan.

Tak mudah melepaskan diri dari dinamika politik ketika masyarakat terus digempur informasi tentang politik dari berbagai lini, lewat kehidupan sosial, siaran televisi, maupun media sosial.

Artikel di jurnal Universitas Muhammadiyah Malang berjudul Kematangan Emosi dalam Perilaku Ujaran Kebencian pada Kebijakan Politik karya Muhammad Faisal Abdul Afif, Yuni Nurhamida, dan Fath Mashuri menyebut beberapa faktor ujaran kebencian, antara lain,  salah paham, terbawa emosi, kebencian pribadi, iseng, dan hanya untuk menasehati.

Penelitian yang dilakukan Febriani (2018) menunjukkan faktor penyebab kebencian yaitu internal dan lingkungan. Faktor internal individu contohnya keadaan psikologis dan kematangan emosional.

Faktor lingkungan terdiri atas kurangnya kontrol sosial, kepentingan kelompok atau masyarakat, dan ketidaktahuan masyarakat. Faktor yang paling sering menjadi penyebab adalah faktor psikologis dan keadaan emosional individu yang melakukan.

Faktor sarana umum dan kepentingan politik juga berpengaruh besar dalam perilaku ujaran kebencian. Politik tak terlepas dari ungkapan-ungkapan yang merepresentasikan kebencian dengan mengatasnamakan demokrasi, terlebih setiap menjelang pemilu seperti sekarang.

Ini imbas dari persaingan merebut kekuasaan yang konon untuk menentukan masa depan bangsa. Bukan berarti kebencian selalu mendominasi kehidupan politik kita. Masih banyak orang yang menggunakan akal sehat sehingga berpikir jernih dan bijak dalam merespons situasi politik.

Tak bisa dimungkiri kebencian biasanya mewarnai konstelasi politik pada momentum pemilu. Hal demikian tak mengagetkan. Berdasar perspektif natural, kebencian merupakan watak dasar agresi yang bersifat adaptif bagi evolusi spesies.

Perspektif ini memandang manusia memiliki bibit-bibit atau potensi membenci secara alamiah. Dilihat perspektif psikologi, kebencian merupakan hasil pengalaman-pengalaman atau sejarah individu yang ditimbulkan dari ketakutan atau trauma.

Dari perspektif sosial, kebencian terbentuk dari struktur pengalaman yang tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga faktor pengalaman sosial (M. Mas’udi Rahman:2017). Pada dasarnya benci bersifat merusak. Ini tak hanya soal politik.

Fenomena kebencian yang diumbar paling mencolok biasanya berkaitan dengan isu politik. Kebencian yang mendarah daging membuat orang kalap hingga menabrak norma, bahkan menjadi delik, perbuatan yang bermuara pada pengenaan hukuman atas pelanggaran undang-undang (pidana).

Dari sudut pandang hak asasi manusia (HAM), ujaran kebencian berbeda dengan kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat adalah upaya yang dibangun dengan cara yang bernalar.

Ujaran kebencian adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan bentuk komunikasi berupa provokasi, hasutan, atau hinaan kepada orang atau kelompok lain dalam berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, kecacatan, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan hal-hal lain.

Dosen Fakultas Hukum Univesitas Ahmad Dahlan, Sobirin Malian, dalam tulisan berjudul Politik Kebencian dan Berpikir Kritis (2023) menyebut kebencian pada awalnya digerakkan hasrat merebut kekuasaan dalam arena politik atau dunia olahraga, lalu memasuki semua relung-relung kehidupan dan mengancam sosiabilitas kita.

Riak-riak ancaman, konflik memenuhi ruang-ruang publik, menggoyang harmoni sosial, bahkan keluarga. Politik kebencian bak air bah yang menghantam siapa pun yang saling berbeda pilihan.

Di dalamnya terdapat eksklusi dan sekat-sekat yang beroperasi menghasilkan dukungan politik, terutama dari generasi milenial dan floating mass (massa yang belum menentukan pilihan).

Ironisnya, alih-alih terwujud suatu solidaritas dan kedamaian, dukungan eksklusif justru semakin menegaskan segregasi (pengelompokan) yang dikukuhkan dinding tebal pemilahan antara “aku” dan “kau”, “kami” dan “mereka”.

Akal sehat menjadi mahal ketika kebencian menggerogoti kehidupan politik. Pada banyak kasus, akal sehat yang diharapkan menjadi filter malah dinegasikan untuk menularkan ketidaksukaan atau kebencian.

Oleh karena itu, akal sehat dan berpikir kritis harus menjadi kesadaran kolektif untuk menghasilkan kontestasi politik yang berkualitas.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 18 Januari 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya