SOLOPOS.COM - Adib Muttaqin Asfar (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Kemenangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilu 2024 hanya babak akhir dari rangkaian ingar bingar kampanye di berbagai medium. Ini kemenangan narasi “gemoy” yang diamplifikasi para pendengung dengan jutaan pengikut di media sosial.

“Tapi, menurut saya di situ sebetulnya ada satu fenomena bahwa pendukung [pasangan nomor urut] 2 ini adalah silent majority. Jadi banyak pendukung 2 yang sebetulnya tidak atau belum mengekspresikan pandangan karena ada act of terror dari tokoh-tokoh [pendukung pasangan nomor urut] 1 seperti Bung Rocky [Gerung],” kata konsultan politik M. Qodari.

Promosi Enjoy the Game, Garuda! Australia Bisa Dilewati

Dalam program gelar wicara Rosi di Kompas TV, Kamis (16/2/2024), pemimpin Gerakan Satu Putaran itu berdebat dengan dengan pengamat sosial Rocky Gerung dan Direktur Eksekutif Polmark Indonesia Eep Saefulloh Fatah.

Menurut Qodari, pemilih Prabowo adalah silent majority. Rocky dan Eep berulang kali mengecam praktik politik dinasti Joko Widodo (Jokowi) adalah orang-orang yang berisik. Dalam setiap pemilihan presiden, yang menang pasti didukung mayoritas pemilih.

Itu hukum alam karena pemenang adalah peraih suara di atas 50%. Menyebut pemilih mayoritas sebagai “mayoritas diam” atau silent majority adalah narasi lama yang kerap dipakai kelompok politik demi merebut simpati.

Ini mirip saat gerakan Tea Party muncul di Amerika Serikat (AS) pada 2009 sebagai gerakan politik populis dan konservatif. Gerakan ini muncul untuk memprotes undang-undang dan rancangan undang-undang yang menurut mereka terlalu “sosialis” karena anggaran dana talangan jaminan sosial sangat besar.

Mereka menyerukan pemotongan pajak karena menganggap jaminan kesejahteraan publik adalah pemborosan. Pada 2011, muncul gerakan bernama Occupy Wall Street. Gerakan yang dimotori para aktivis ini memprotes ketidaksetaraan ekonomi, distribusi pendapatan yang timpang, korupsi, dan pengaruh oligarki.

Dua gerakan ini saling berlawanan, tetapi sama-sama mengklaim didukung silent majority AS. Klaim kelompok Tea Party mirip dengan kampanye Presiden Ke-37 Amerika Serikat Richard Nixon saat tampil di stasiun televisi pada 3 November 1969.

Saat itu dia menggalang simpati publik AS di tengah protes antiperang yang menuntut penghentian keterlibatan negara itu dalam perang Vietnam.

And so tonight — to you, the great silent majority of my fellow Americans — I ask for your support [Dan pada malam ini—bagi Anda, silent majority besar dari saudara saya warga Amerika—saya meminta dukungan],” kata Nixon saat itu.

Nixon menggalang dukungan mayoritas publik AS yang memenangkannya pada kampanye pemilu setahun sebelumnya. Pada 1968, saat berkampanye sebagai calon presiden, dia mengaburkan perbedaan kelas pekerja dan kelas menengah-atas dengan menyebut keduanya dalam berbagai pidato.

Strategi populisme konservatif ala Nixon tersebut diadopsi banyak politikus di AS maupun di banyak negara lain. Populisme adalah gerakan atau klaim politik yang mengaku memperjuangkan masyarakat kebanyakan dan bertentangan dengan citra elite atau kelompok mapan.

Dalam berbagai kampanye, para pelaku kerap menempatkan kaum liberal dan sosialis sebagai musuh. Mereka bisa mengatasnamakan kepentingan rakyat banyak atau kepentingan negara di atas segalanya. Seperti Nixon itulah yang terjadi dalam kampanye Donald Trump saat memenangi pemilu AS pada 2016.

Ketakutan Publik

Trump meraup suara mayoritas dengan memanfaatkan keresahan publik AS, terutama kelas menengah. Mereka resah karena banyak imigran, semakin terbatasnya lapangan kerja, dan banyak pengangguran.

Imigran—termasuk dari Amerika Latin dan negara mayoritas berpenduduk muslim—disalahkan karena mengurangi kesempatan kerja penduduk “asli” AS. Muncul pagar besi di sepanjang perbatasan AS-Meksiko yang kontroversial itu.

Muncul pula aturan yang membatasi warga Amerika Latin dan muslim masuk AS. Trump juga memaksa perusahaan-perusahaan besar AS membawa kembali pabrik-pabrik mereka demi membuka lapangan kerja di dalam negeri. Semua demi “make America great again”.

Di Indonesia, praktik populisme sudah lama terlihat. Berbagai studi menunjukkan sejumlah kampanye politik yang memanfaatkan sentimen “kelompok asli” versus “kelompok luar”. Salah satunya sentimen anti-China yang berkembang pada kampanye menuju Pemilu 2014 dan Pilkada Jakarta 2017.

Pada saat bersamaan muncul upaya pembalikan dengan cara serupa. Sentimen itu dibalas dengan sentimen “antiekstremisme”, “anti-Taliban”, “anti-kadrun”, dan sebagainya yang juga sangat diskriminatif.

Salah satu pemakaian narasi “anti-Taliban” dan “anti-kadrun” adalah saat pemerintah dan DPR hendak mengendalikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah kekuasaan eksekutif melalui revisi UU KPK.

Para penyidik, penyelidik, dan aktivis antikorupsi di KPK dilabeli kadrun alias kadal gurun untuk mencitrakan mereka dekat dengan kelompok ekstrem kanan. Tudingan itu tidak pernah terbukti karena yang terbukti adalah pelemahan KPK—bahkan demoralisasi—sejak 2019.

Pola penciptaan narasi populisme itu masih nyata hingga kini. Yang memprotes revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, UU KUHP, UU Kesehatan diidentikkan dengan berbagai label, kadrun hingga liberal.

Yang terbaru adalah penggunaan narasi kepentingan nasional—narasi usang ala Orde Baru—untuk meredam protes warga Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Narasi sejenis muncul saat wilayah Aceh kedatangan pengungsi Rohingya sejak November 2023.

Ketika diminta wartawan pada 22 Desember 2023 merespons situasi itu, Anies Baswedan menyinggung pemanfaatan Pulau Galang untuk menampung sementara pengungsi Rohingya. Dia merujuk pengalaman Indonesia menampung para manusia perahu Vietnam puluhan tahun lalu.

Empat hari kemudian Prabowo di Aceh mengatakan akan mengutamakan kepentingan rakyat dan kepentingan nasional dengan alasan rakyat masih hidup susah. Narasi ini diamplifikasi secara masif di media sosial, melengkapi narasi kebencian yang beredar sebelumnya.



Semua bermuara pada pengusiran pengungsi Rohingya di Gedung Balee Meuseuraya Aceh oleh para mahasiswa. Label “kepentingan asing”, “liberal”, hingga “kadrun” adalah versi Indonesia dari narasi-narasi konservatif Trump dan Nixon di AS.

Mereka yang diberi label-label itu adalah “kelompok luar” dalam populisme dan menjadi musuh bersama. Masyarakat sipil, aktivis, advokat pembela hak asasi manusia, hingga masyarakat yang menolak penggusuran atas nama proyek strategis nasional adalah bagian dari “kelompok luar” itu. Mereka kini menjadi vocal minority alias minoritas yang berisik, lawan dari silent majority dalam narasi Qodari.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 21 Februari 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya