SOLOPOS.COM - Subroto Rapih (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Pasar  finansial terguncang dengan kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB), bank pemberi pinjaman terbesar ke-16 di Amerika Serikat dengan aset sekitar US$200 miliar. Pengumuman kebangkrutan SVB tergolong mendadak.

Dua hari setelah SVB mengumumkan berusaha menggalang dana sebesar US$2,5 miliar untuk menutup lubang di neraca keuangan mereka pada 8 Maret 2023, Federal Deposit Insurance Corporation (reguator yang mengatur deposito bank-bank di Amerika Serikat) mengumumkan SVB telah gagal.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Sesaat sebelumnya, pada 10 Maret 2023 pagi, harga saham SVB telah merosot 70% pada perdagangan pre-opening sebelum akhirnya penjualan dihentikan. Hal ini disebabkan upaya penggalangan dana oleh SVB gagal dan SVB berusaha mencari jalan lain dengan menjual bank kepada institusi lain yang lebih besar.

Semuanya terlambat karena Federal Deposit Insurance Corporation telanjur mengumumkan SVB telah bangkrut. Entitas SVB itu sebenarnya apa? Mengapa SVB bisa terperosok ke dalam jurang kebangkrutan? Apa dampaknya terhadap pasar finansial?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul seiring pengumuman SVB kolaps oleh otoritas setempat. SVB adalah bank yang mengkhususkan diri pada pembiayaan perusahaan-perusahaan start-up. SVB menyediakan penyimpanan dan pendanaan bagi perusahaan-perusahaan start-up dengan syarat yang lebih longgar dibandingkan dengan bank-bank lain.

Ketika bank atau institusi keuangan lain cenderung hati-hati dalam memberikan pendanaan bagi perusahaan start-up (karena hanya sedikit start-up yang memiliki aset untuk agunan), SVB menerapkan kebijakan yang cenderung longgar bagi pendanaan start-up.

Ketika Silicon Valley berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, SVB mengalami hal serupa. Dana dari investor mengalir deras ke perusahaan-perusahaan start-up yang menyebabkan perusahaan-perusahaan start-up kehilangan insentif untuk mengajukan kredit dari bank dan justru memiliki lebih banyak uang untuk mereka depositokan.

Permasalahan mulai muncul ketika dana simpanan yang dihimpun SVB meningkat dari US$44 miliar pada akhir 2017 menjadi US$189 miliar pada akhir 2021, naik lebih dari empat kali lipat! Sementara itu, dana pinjaman yang disalurkan SVB pada periode yang sama hanya tumbuh dari US$23 miliar menjadi US$66 miliar.

Memiliki basis simpanan yang jauh lebih besar daripada pinjaman menyebabkan sumber pemasukan utama dari selisih (spread) antara tingkat bunga simpanan dan pinjaman nyaris tidak ada. Dalam kondisi tersebut, SVB berusaha mencari sumber keuntungan lain dengan cara mengakuisisi aset berbunga lainnya.

Pada akhir 2021, SVB berinvestasi US$128 miliar yang sebagian besar ke pasar obligasi hipotek dan treasuries. Masifnya pendanaan yang mengalir ke perusahaan-perusahaan start-up selama masa booming pendanaan menjadikan SVB mengalami suatu anomali.

Dana simpanan yang dihimpun SVB justru meningkat ketika suku bunga turun. Hal itu memaksa SVB mencari sumber keuntungan dengan membeli obligasi pada saat harga tinggi. Inflasi global yang berkepanjangan mengubah segalanya. Modal ventura yang menjadi tulang punggung pendanaan bagi perusahaan-perusahaan start-up mulai mengurangi pendanaan mereka.

Kondisi ini memaksa perusahaan-perusahaan start-up mengambil simpanan mereka secara besar-besaran yang selama ini mereka simpan di bank, salah satunya dan yang terbesar adalah SVB. Neraca simpanan SVB menurun tajam dari US$189 miliar pada akhir 2021 menjadi US$173 miliar pada akhir 2022.

Kondisi ini memaksa SVB menjual seluruh portofolio obligasi likuid dengan harga yang jauh lebih rendah untuk menutup pembayaran kepada para deposan (kerugian SVB akibat penjualan portofolio obligasi ditaksir senilai US$1,8 miliar).

Kepanikan

Pembelian obligasi untuk mencari sumber keuntungan bagi bank sebenarnya merupakan fenomena umum. Bank-bank lain umumnya memiliki basis neraca pinjaman yang cukup besar. Ketika suku bunga naik, mereka cenderung juga mendapatkan keuntungan yang besar.

Hal inilah yang tidak dimiliki oleh SVB. Basis neraca pinjaman SVB yang relatif kecil menjadikan mereka kesulitan mendapatkan keuntungan ketika suku bunga naik. Langkah apa yang akan diambil utuk menyelamatkan SVB dari jurang kebangkrutan?

Apakah pemerintah federal Amerika Serikat akan melakukan intervensi dengan memberikan bail-out atau mencarikan investor yang lebih besar untuk mengakuisisi SVB? Sampai artikel ini saya tulis, setidaknya belum ada langkah yang diambil oleh otoritas setempat untuk menyelamatkan SVB dari jurang kebangkrutan.

Dampak paling nyata dari kegagalan suatu institusi keuangan seperti bank adalah kepanikan nasabah atas dana yang mereka simpan. Kepanikan sangat mungkin menyebabkan penarikan besar-besaran dana nasabah (bank run) yang sebenarnya sulit dilakukan sepenuhnya akibat keringnya dana yang dimiliki SVB.

Meskipun pemerintah federal Amerika Serikat telah menjamin simpanan dengan mengasuransikan dana simpanan masyarakat, jaminan ini kebanyakan hanya untuk deposan individu dan hampir tidak mungkin untuk menjamin pinjaman korporasi dengan nilai simpanan yang sangat besar.

SVB adalah bank yang mengkhususkan diri bagi perusahaan start-up dan sebagian besar nasabahnya adalah perusahaan-perusahaan start-up. Lebih parahya, 93% simpanan nasabah SVB tidak diasuransikan (The Economist, 10 Maret 2023).

Sektor yang paling rentan akibat dari kegagalan SVB tentu sektor start-up yang notabene merupakan nasabah utama SVB. Sektor lain yang mungkin terdampak langsung dari kegagalan SVB adalah pasar mata uang kripto (cryptocurrency).

Setelah kedua sektor tersebut, sangat mungkin dampak dari kegagalan SVB merembet ke sektor-sektor lainnya. Meskipun tidak populer, dana talangan atau bail-out dari pemerintah mungkin bisa meredam kepanikan nasabah.

Intervensi pemerintah terbukti mampu meredam kepanikan dan kemungkinan besar mampu menyelamatkan SVB dari jurang kebangkrutan sekaligus mencegah dampak penularan (contagion effect) yang semakin dalam, meskipun bisa berdampak buruk (misalnya: moral hazard).

Akar masalah yang dialami SVB adalah membiarkan ketidakseimbangan neraca simpanan dan pinjaman yang sebenarnya merupakan konsekuensi dari kondisi fluktuasi keuangan nasabah mereka, yaitu perusahaan-perusahaan start-up. Mengkhususkan diri pada pembiayaan perusahaan start-up mungkin merupakan keunikan yang bisa menjadi nilai tambah bagi SVB.

Kita harus ingat bahwa start-up merupakan sektor yang sangat fluktuatif. Sistem keuangan perusahaan start-up yang sangat bergantung pada pendanaan seperti modal ventura menjadikan sektor start-up sangat rentan dengan tekanan ekonomi global.



Selain itu, kelonggaran dalam memberikan pinjaman kepada perusahaan-perushaan start-up juga tampaknya menjadi boomerang bagi SVB. Penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan perbankan wajib dilakukan.

Meskipun fokus nasabah pada perusahaan-perusahaan start-up yang mungkin sangat penting dalam menggerakkan roda perekonomian, penerapan prinsip kehati-hatian wajib untuk terus dilakukan.

Belajar dari fenomena kegagalan SVB, sampai saat ini perusahaan start-up umumnya merupakan perusahaan yang belum sepenuhnya mapan dengan neraca keuangan yang sangat rentan. Potensi-potensi risiko langsung maupun tidak langsung menjadi sangat besar dalam pendanaan bagi perusahaan-perusahaan start-up.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 Maret 2023. Penulis adalah ekonom dan pengajar di Universitas Sebelas Maret)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya