SOLOPOS.COM - Y Bayu Widagdo, Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI)

Y Bayu Widagdo, Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI)

Dari dulu saya terkesan dengan kata simplicity, yang berakar dari bahasa Prancis simplicite, dan bila ditelusuri lagi berasal dari kata Latin simplicitat. Penggunaan kata simplicity secara luas menurut Merriam-Webster kali pertama tercatat pada abad ke-14.

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

Dalam bahasa Indonesia untuk gampangnya, simplicity dapat didefinisikan sebagai kesederhanaan. Ini bisa soal penampilan, atau pun penjelasan sesuatu hal secara mudah atau gampang dimengerti dan dipahami oleh pihak lain. Antonim atau lawan katanya jelas adalah kompleksitas, bila menyangkut persoalan atau berlebihan bila menyangkut penampilan. Ada bahasa gaul yang mudah sebagai lawan kata simplicity, yakni menor.

Begitu terkesannya dengan kata simplicity, maka dulu saya paling malas kuliah kalau dosen yang mengajar tidak bisa memberikan kuliah secara gamblang dan ringkas. Apalagi bila cara mengajarnya muter-muter, pasti saya banyak bolos kuliahnya. Pun dalam melihat orang berdandan, saya tidak sreg melihat orang menor.

Mungkin Anda tidak sependapat dengan saya soal simplicity atau soal menor ini. Sah-sah saja, ini soal selera, yang jelas tidak bisa dipaksakan satu orang dengan yang lain. Saya cuma mau bercerita, bagaimana dalam dua pekan terakhir September, kebetulan tiap Sabtu, saya bertemu situasi yang semakin membuat saya terkesan dengan simplicity.

Pertama di Singapura. Kebetulan saya diundang menghadiri pertemuan friends of Singapore, kumpulan tokoh pemerintahan, pengusaha, akademisi, CEO aneka perusahaan multinasional, diplomat dan wartawan dari berbagai negara. Mereka berkumpul dalam acara bertajuk Singapore Global Dialogue dan Singapore Summit 2012, banyak hal dibicarakan di forum itu, mulai dari persoalan Singapura, regional hingga global.

Di antara ratusan pria dan wanita yang hadir dengan menggunakan lounge suit, di meja depan tampak satu wanita setengah baya yang hanya mengenakan celana sutra merah tua dan baju batik kuning kehijauan bermotif kembang-kembang hitam. Jelas dia bukan wanita sembarangan, karena di meja itu juga duduk Pascal Lamy, Direktur Jenderal World Trade Organization (WTO) dan Kevin Rudd, mantan Perdana Menteri Australia.

Saat kamera menyorot meja tersebut, baru jelas siapa wanita berpakaian sederhana itu. Madam Ho Ching, chief executive officer (CEO) Temasek Holding, perusahaan investasi milik pemerintah Singapura, yang mengelola asset senilai US$161 miliar per akhir Maret 2012.

Benar-benar simple sang Madam. Selain baju sederhana yang dikenakan, hiasan wajah pun hanya bedak tipis sementara rambut hanya disisir biasa. Benar-benar dandanan seorang ibu rumah tangga, tidak seperti dandanan kebanyakan eksekutif di Jakarta.

Saat coffee break, terus terang saya semakin terkesima dengan Madam Ho, yang ikut antre sendiri mengambil minuman dan sepiring kecil kue. Tidak ada pengawal atau ajudan yang mengiringi atau mengambilkan camilan. Padahal dia istri Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Long. Di negara lain, istri kepala pemerintahan macam Madam Ho ini sudah dikelilingi oleh puluhan ajudan dan pengawal sehingga tidak perlu repot antre mengambil makanan sendiri.

Kebetulan acara hari itu berlangsung dari pagi hingga sore. Malam hari langsung diteruskan dengan gala dinner di ruangan yang berbeda. Banyak tamu berganti pakaian, namun juga banyak yang tidak. Dalam gala dinner ini dijadwalkan PM Lee hadir dan memberikan pidatonya.

Saat dinner, jelas Madam Ho satu meja dengan sang suami. Yang luar biasa, ibu empat anak itu tidak berganti pakaian yang sudah dikenakannya semenjak pagi. Dandanan pun tidak ada yang berubah.

“Apakah Madam Ho seperti itu setiap hari penampilannya?”tanya saya kepada satu direktur anak usaha Temasek, yang duduk satu meja.

“Ya, setiap hari dia seperti itu. Penampilannya ya apa adanya seperti ini. Bagi kami tidak soal, yang penting dia tegas dan cermat memberikan arahan dalam mengendalikan bisnis kami,”jelasnya.

Benar juga apa yang dikatakan eksekutif itu. Majalah Forbes menulis,di bawah kendali Madam Ho Ching, Temasek kian berkembang dan mampu berekspansi mengembangkan asetnya, dari S$77 miliar menjadi S$198miliar dalam satu dekade terakhir. Saat menjadi CEO pada 2002, dia memperbaiki Temasek dengan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi.

Meski memiliki koneksi tingkat tinggi lewat posisi suami maupun ayah mertuanya, Madam Ho tetap mengedepankan pendekatan profesional dan berani mengambil risiko. Pantaslah bila majalah Time menyebut dia sebagai salah satu dari 100 orang berpengaruh di dunia.

Itulah simplicity. Menjadi CEO perusahaan miliaran dolar sekaligus istri kepala pemerintahan sebuah negara kaya tidak lantas menjadikan Madam Ho Ching merepotkan banyak pihak, membuat orang lain takut mendekat atau memaksa orang lain untuk minggir bila dirinya hendak lewat.

Saya pun berandai-andai, kalau saja di Indonesia banyak orang yang se-simplicity seperti Madam Ho, mungkin keuntungan yang diraih BUMN-BUMN di Indonesia akan semakin menggunung karena para bosnya jadi lebih bertindak efisien dan efektif. Paling tidak, seorang dirut BUMN tak perlulah membawa puluhan pengawal dan ajudan.

Harapan ini sedikit muncul pada Sabtu berikutnya, saat saya harus ke Solo, menemui Pak Jokowi yang hari itu ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Yakarta sebagai pemenang dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Saat datang ke kantor KPUD itu, Jokowi dikabarkan hanya naik sebuah minibus.

Pun saat tiba kembali di Loji Gandrung, kediaman resmi Walikota Solo, Jokowi hanya naik sebuah minibus, ditemani dua ajudan tanpa iringan kendaraan pengawal. Seperti biasa dia hanya berpakaian batik warna cokelat. Tanpa protokoler yang berbelit-belit, dia pun menerima kunjungan kami seraya berkata.”Tunggu di ruang sebelah ya, nanti saya ke situ.”

Maklum, saat itu banyak sekali tamu yang antre untuk menemui Jokowi. Dan benar, setelah menunggu beberapa jam dengan ditemani aneka suguhan camilan, sang Walikota Solo itu menemui kami dengan segala kesederhanaannya. Tidak tergambar rasa jemawa bahwa dia sang gubernur terpilih di kota utama negara ini.

Simplicity seorang Jokowi menarik perhatian orang untuk memilihnya menjadi pemimpin di Jakarta yang sarat dengan aneka persoalan. Cara berpikirnya sederhana saja, namun logis.

“Ya tidak bisa swasta atur pemerintah. Kacau kalau begitu..Pemerintah yang harus atur swasta,”tegasnya.

Betul Pak Jokowi. Para pemimpin seperti Anda ini dipilih oleh rakyat untuk mengatur semuanya, termasuk dunia swasta. Jangan lambat mengeluarkan perintah Pak Jokowi, jangan seperti yang lainnya. Namun juga kalau mengeluarkan perintah, jangan yang rumit-rumit sehingga tidak bisa dilaksanakan oleh para bawahan.Yang simple-simple saja, namun jelas dibutuhkan rakyat.



Seperti halnya banyak orang, yang jelas saya berharap pada Pak Jokowi ini, yang seperti halnya Madam Ho Ching, penampilannya sangat simplicity. Bukan atribut yang diperlukan, tapi esensi seorang pemimpin dalam mengarahkan yang dipimpin untuk mengatasi persoalan.

Mungkin benar juga kata apa kata Leonardo da Vinci, simplicity is the ultimate sophistication.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya