SOLOPOS.COM - Rizkyana, pegawai Fungsional Penyuluh Pajak KPP Madya Dua Jakarta Selatan II. (Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Penyatuan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagaimana diatur dalam Undang-undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) merupakan pencapaian bagi bangsa Indonesia di pengujung tahun 2022 ini.

Setelah menunggu lebih dari satu dekade, Single Identity Number (SIN) atau satu data tunggal yang digagas oleh Hadi Poernomo, Dirjen Pajak periode 2001-2006, akhirnya resmi berlaku. Hal ini dilakukan demi memperbaiki sistem perpajakan, kesederhanaan administrasi, dan menaikkan rasio pajak di Indonesia.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Selama ini meski penerimaan negara dari sektor perpajakan terus meningkat dari tahun ke tahun, namun rasio pajak (tax ratio) di Indonesia belum menunjukkan angka kenaikan yang signifikan. Rasio pajak adalah perbandingan antara penerimaan pajak (tax revenue) dengan jumlah produk domestik bruto (gross domestic product) suatu negara. Rasio pajak yang rendah menunjukkan tingkat kepatuhan pajak (tax compliance) yang rendah di Indonesia.

Dari sisi penerimaan pajak, Ditjen Pajak per 6 Desember 2022 telah berhasil mencapai 106,4% dari target yang diberikan sebesar Rp 1.485 triliun. Namun menurut data Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2022 yang dikeluarkan oleh OECD, rasio pajak negara kita masih di bawah rata-rata negara Asia Pasifik (19.1%) dan negara-negara OECD (33.5%).

Bahkan, Indonesia menyentuh angka rasio pajak terendah di tahun 2020 yakni 10.1% dimana angka ini turun 1.5 poin dari rasio pajak di tahun 2019 sebesar 11.6%. Maka pemerintah perlu melakukan reformasi administrasi perpajakan untuk mendongkrak rasio pajak Indonesia, salah satunya dengan integrasi data administrasi perpajakan dengan data kependudukan.

Baca Juga: Meroket 258%, Kantor Imigrasi Surakarta Bukukan PNBP Rp23,5 Miliar

Dengan diberlakukannya NIK sebagai NPWP, tidak berarti semua warga negara Indonesia yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) otomatis dikenai pajak. Dari sisi pajak penghasilan menurut ketentuan UU HPP, masyarakat yang akan ditetapkan menjadi Wajib Pajak adalah mereka yang telah memiliki penghasilan di atas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) yakni 60 juta setahun atau 5 juta per bulan. Angka tersebut dianggap sebagai nominal yang dibutuhkan oleh warga negara Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sehingga tidak dikenai pajak.

Jadi jika seseorang memiliki penghasilan di bawah nominal PTKP maka ia akan bebas dari kewajiban pajak penghasilan.
Pada dasarnya, penyatuan NIK dan NPWP ini adalah untuk kemudahan administrasi (ease of administration) dan mengurangi ego sectoral di Indonesia.

Sebagaimana diketahui bersama, masing-masing instansi di negara kita masih menggunakan basis data yang berbeda-beda. Hal ini mengakibatkan duplikasi data di lapangan dan masyarakat akan diminta untuk mengisi ulang formulir data diri setiap datang ke instansi yang berbeda untuk keperluan yang berbeda.

Seorang warga negara Indonesia bisa memiliki puluhan nomor identitas, misalnya NIK untuk Ditjen Dukcapil, NPWP untuk Ditjen Pajak, Nomor Paspor untuk Ditjen Imigrasi, Nomor SIM, Nomor Anggota BPJS, dan lain sebagainya. Dengan adanya SIN, maka nomor-nomor ini akan dieliminasi karena integrasi basis data melalui e-Government dimana masing-masing instansi akan diberikan akses data sesuai dengan kebutuhannya.

Praktik ini telah banyak dilakukan di negara-negara maju sehingga birokrasi pemerintahannya menjadi lebih sederhana dan ringkas.

Baca Juga: Perusahaan Kosmetik Revlon Bangkrut, Pemegang Saham Disebut bakal Gigit Jari

Optimalisasi Penerimaan Negara

Pajak masih menjadi instrumen kemandirian fiskal di Indonesia karena menopang sebagian besar proporsi APBN. Dengan semakin transparannya sistem administrasi perpajakan dan data kependudukan, diharapkan dapat memberi rasa keadilan yang lebih baik kepada masyarakat.

Semakin tinggi penghasilan yang didapat oleh seseorang, maka akan semakin tinggi pula tarif pajak yang dikenakan. Apalagi di bawah UU HPP, crazy rich atau seseorang yang memiliki penghasilan di atas lima milyar per tahun akan dikenakan tarif tertinggi yakni sebesar 35%.

Selain itu, integrasi NIK dan NPWP akan memperluas basis pajak sehingga sektor-sektor yang belum tersentuh oleh DJP dapat digali potensi pajaknya. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi PPATK menyebutkan bahwa shadow economy atau ekonomi illegal Indonesia yang berasal dari tindak pidana pencucian uang mencapai 8.3% – 10% dari PDB atau Rp 417,5 triliun di tahun 2021.

Baca Juga: Presiden Terbitkan PP, Pelaku Pidana Pajak Boleh Diumumkan ke Media

Fakta ini selain memperlambat potensi riil ekonomi Indonesia juga menggerus potensi penerimaan pajak yang ada. Dengan integrasi data kependudukan dan keuangan di Indonesia, harapannya praktik ekonomi illegal ini dapat diminimalisir dengan baik.

Sistem perpajakan di Indonesia adalah self assessment dimana masyarakat diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban pajakanya. Hal ini berbeda dengan sistem official assessment di masa lalu dimana kewenangan penentuan besarnya pajak yang terutang ada di tangan petugas pajak dan wajib pajak berperan pasif menunggu surat ketetapan pajak dari petugas.

Saat ini masyarakat harus lebih aktif dan melek pajak agar kepatuhan pajak secara sukarela lebih meningkat. Perbaikan sistem administrasi perpajakan pun secara terus-menerus dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dan rasio pajak di Indonesia sehingga tercipta keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia.

Rizkyana, Fungsional Penyuluh Pajak KPP Madya Dua Jakarta Selatan II

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya