SOLOPOS.COM - Para siswa SDN Kroyo, Karangmalang, Sragen, menandatangani pakta integritas stop kekerasan dan stop perundungan secara bergantian di halaman sekolah setempat, Kamis (8/12/2022). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Regulasi ini menggantikan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan.

Regulasi baru itu diterbitkan dan diberlakukan sebagai bagian dari sistem Merdeka Belajar pada Selasa (8/8/2023). Penerbitan regulasi baru ini sebagai payung hukum seluruh warga sekolah atau satuan pendidikan agar kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi dapat dicegah dan ditindak secara tegas.

Promosi Tragedi Simon dan Asa Shin Tae-yong di Piala Asia 2023

Sekitar 34,51% peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual, 26,9% berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31% mengalami perundungan. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia menunjukkan pada 2022 terdapat 2.133 pengaduan kekerasan, 20% melibatkan anak laki-laki dan 25,4% melibatkan anak perempuan usia 13 tahun hingga 17 tahun.

Peraturan ini bertujuan membantu satuan pendidikan menangani kasus kekerasan yang mencakup kekerasan dalam bentuk daring, psikis, dan lainnya dengan berperspektif korban. Peraturan ini bermaksud melindungi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dari kekerasan yang terjadi saat kegiatan pendidikan di dalam maupun di luar sekolah.

Peraturan baru ini bersifat lebih progresif dan komprehensif dalam pencegahan dan penanganan aneka bentuk kekerasan di sekolah. Yang terpenting dari penerapan regulasi baru ini adalah pemahaman para pihak terkait. Deteksi dini kekerasan, respons cepat terhadap peristiwa kekerasan, dan pemulihan korban tindak kekerasan harus berawal dari kepedulian dan kepekaan seluruh warga sekolah.

Butuh pemahaman dan kesadaran yang sama di semua pemangku kepentingan. Dengan begitu tidak ada lagi alasan menutup-nutupi insiden kekerasan di sekolah, apalagi dengan alasan ”melindungi nama baik” atau ”menutupi aib.” Pelaku kekerasan di sekolah selama ini berasal dari berbagai unsur.

Ada guru yang melakukan kekerasan terhadap anak secara verbal hingga fisik. Ada siswa yang melakukan kekerasan fisik atau perundungan kepada sesama siswa. Ada juga orang tua siswa yang melakukan kekerasan terhadap siswa lain atau bahkan terhadap guru. Contohnya yang terjadi di Bengkulu belum lama ini.

Ayah seorang siswa mengetapel guru di sekolahan karena tak terima anaknya diperingatkan oleh guru lantaran merokok di sekolah. Akibat ulah emosional si ayah ini, sang guru kehilangan fungsi salah satu matanya.

Regulasi ini hanya akan berhenti menjadi sekadar regulasi di kertas atau ”yang penting ada” ketika seluruh pemangku kebijakan di sekolahan tidak memilik perspektif yang progresif ihwal segala bentuk tindak kekerasan.

Jamak terjadi selama ini aneka bentuk kekerasan dianggap hal biasa. Sebenarnya tidak ada satu pun bentuk kekerasan, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi yang tidak berdampak buruk.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya