SOLOPOS.COM - Oriza Vilosa (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Perusahaan platform digital acapkali menawarkan jurus membaca data mikro. Data mikro tersebut bisa berupa perincian soal perilaku pengguna media digital. Perincian itu sebut saja tentang hobi, gender, usia, hingga indikasi ketertarikan khusus terhadap sesuatu.

Cara mengelompokkan minat pengguna media digital ini menjadi senjata bagi siapa pun yang menghendaki kemenangan bermain di kolam digital. Setelah pengelompokan data mikro, lazimnya perusahaan platform digital itu mengenalkan fungsi analisis.

Promosi Mabes Polri Mengusut Mafia Bola, Serius atau Obor Blarak

Analisis menjadi senjata lapis berikutnya agar arah pengelompokan data mikro lebih efektif mengantar tujuan pengolah data. Kegiatan ini menjadi bernilai sejak era disrupsi informasi terjadi.

Angka kepemilikan gawai makin tinggi. Di Indonesia lebih dari separuh penduduk memiliki smartphone pada 2017. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis data pengguna Internet di Indonesia mencapai 215,63 juta orang pada periode 2022-2023.

Tak hanya untuk urusan bisnis, olah data digital ini semakin santer diperbincangkan untuk mendeteksi perilaku orang dalam urusan politik. Seperti pernyataan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Andi Widjajanto, yang mundur dari jabatannya setelah memutuskan menjadi bagian tim pemenangan pasangan calon presiden-calon wakil presiden  Ganjar Pranowo-Moh. Mahfud Md.

Di beberapa ruang gelar wicara yang disiarkan di Youtube, mantan penasihat Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu menyampaikan 88% nada kontra setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden dan pengalaman sebagai kepala daerah.

Data terkait sikap kontra pada putusan MK itu didapat dari pengelompokan serta analisis data reaksi warga di ruang siber. Data mengenai persepsi politik itu bisa didapat dari aktivitas di media sosial hingga pembicaraan di media digital, termasuk di media massa berplatform online.

Ada dua kecenderungan besar setelah pengelompokan dan analisis data dilakukan, yakni  agregat persepsi publik condong ke negatif atau sebaliknya. Sikap berbasis analisis diperlukan. Pengguna data mendapat pertanyaan mau diapakan fakta mengenai kecenderungan persepsi itu.

Maka tak mengherankan jika analisis data yang melahirkan fakta seperti tadi disikapi dengan berbagai manuver. Sebelum ke sana, pengguna data bisa memanfaatkan irisan data lain. Mengolah irisan data tersebut justru menjadi celah mengolah persepsi sesuai kebutuhan.

Baru saja Charta Politika merilis survei mereka tentang putusan MK soal batas usia atau pengalaman sebagai syarat berkontestasi dalam pemilihan presiden. Hasilnya, 37,7% responden tidak tahu tentang putusan itu.

Sisanya, 62,3% responden tahu. Di antara yang tahu, 49,9% setuju terhadap pertanyaan sejumlah kalangan yang menilai putusan MK tersebut merupakan penyalahgunaan wewenang untuk memudahkan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden.

Sebenarnya sejak tahun lalu hasil survei politik telah mewarnai media informasi di ruang digital dan lainnya. Publikasi hasil survei mungkin berimplikasi terhadap keyakinan warga dalam menentukan pilihan politik.

Sama-sama berkutat dalam olah data, ada kecenderungan hasil olah data politik dimunculkan ke publik. Beda dengan survei pasar yang dipesan pelaku bisnis, tak semua diungkap ke publik. Pemilik merek besar, misalnya perbankan dan perusahaan otomotif, justru tidak mengungkap hasil survei atau olah data digital mereka ke publik.

Merek-merek besar itu justru muncul sebagai mitra perusahaan olah data seperti untuk kegiatan data science dan data anality, padahal bisnis dan politik sama-sama berkepentingan memainkan persepsi publik.

Sampai di sini kita pantas mengelompokkan konsumen informasi. Ada yang kritis dan tak mudah percaya terhadap hasil survei atau olah data. Ada yang lebih menikmati cara atau metodologi olah data.

Ada pula yang mudah terpengaruh terhadap manuver dalam menstabilkan fakta persepsi dari olah data. Tentu saja hal itu menjadi kedaulatan penerima informasi. Tak ada salahnya kita mencari cara paling ilmiah untuk merespons pebisnis hingga politikus yang mengolah dan memperlakukan data.

Mengapa? Sebab kita tak boleh salah pilih. Bayangkan jika perilaku kita di media digital mendatangkan bahasa promosi yang memikat, namun setelah kita yakin dan transaksi terjadi berbuah rasa kecewa.

Sebagai konsumen, sudah selayaknya kita tampil bijaksana. Kita harus menyadari tujuan pebisnis dengan cara memviralkan konten adalah transaksi. Tujuan politikus dengan manuver politik yang viral adalah konversi ke elektabilitas. Makin kita cerdas, makin meningkat kualitas pemain data.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 8 November 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya