SOLOPOS.COM - Marwanto, Dosen Bahasa lndonesia, Kepala Pusat Pengabdian Masyarakat UIN Salatiga. (Istimewa)

Baru-baru ini kabar tentang sistem zonasi kembali mengemuka. Bahkan menjadi trending topik di media. Semua fokus mata ke sana, terutama orang tua siswa. Bukan hanya pendaftaran siswa baru seperti tahun-tahun sebelumnya. Beberapa siswa mengalami gagal masuk dan tertahan menjadi siswa baru.

Simak saja di Jawa Barat dan kota-kota yang lain. Beberapa siswa terpaksa dibatalkan lolos seleksi dan beberapa yang lain tertahan di luar sekolah dikarenakan ditemukan pemalsuan saat pengisian data. Bahkan di Jawa Barat, gubernur harus turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini. Sebanyak 4.791 siswa terpaksa dibatalkan lolos karena telah memalsukan data. Mereka disinyalir melakukan kecurangan dalam pengisian data. Jika terbukti curang akan diberikan sanksi yakni pembatalan sebagai efek jera agar ke depan tidak mengulangi lagi.

Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan

Beberapa kota di Indonesia juga mengalami hal demikian. Banyak siswa yang terpaksa tertahan, tidak bisa masuk karena belum melampirkan koordinat zonasi. Padahal mereka sudah siap untuk melaksanakan masa orientasi siswa (MOS) atau Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Akar masalah yang sedang hangat yakni sistem zonasi.

Sistem ini telah membuka peluang dan kesempatan bagi siswa atau orang tua untuk melakukan kecurangan. Berbagai alasan muncul yakni ingin mendapatkan sekolah pilihan atau favorit. Orang tua rela melakukan pemalsuan alamat demi untuk mendapatkan sekolah yang diinginkan oleh putra-putri mereka. Bahkan beberapa orang ikhlas pindah Kartu Keluarga (KK) demi mendapatkan sekolah favorit atau yang diharapkan.

Hal ini jelas menjadi dusta dalam pendidikan dan sekaligus duka bagi Indonesia. Sebuah tujuan yang baik, harus pula dilalui dengan kebaikan pula. Bersekolah mempunyai tujuan yang baik, seharusnya ditempuh dengan kebaikan pula, bukan diawali dengan kebohongan.

Padahal, tujuan diberlakukan dan diterapkan sistem zonasi adalah untuk memungkinkan sebaran siswa merata di tiap sekolah. Sehingga tidak ada alasan sekolah negeri sepi peminat. Apalagi yang berada di pinggiran. Zonasi membuat siswa mendaftar di sekolah terdekat. Beberapa sekolah yang dimungkinkan sepi karena semua memilih sekolah favorit, namun dengan adanya sistem itu, diharapkan bisa menjadikan sekolah kembali ramai dan bergairah.

Indonesia, melalui Menteri Pendidikan telah menetapkan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi sebagai jalur prioritas kelulusan pendaftar. Hal ini sesuai kutipan Permendikbud No 14/2018 yang menyatakan bahwa jalur zonasi adalah jalur penerimaan murid baru dengan melihat berdasarkan jarak rumah siswa dengan sekolah.

Sistem zonasi bagi sekolah negeri dapat menerima peserta didik baru atau siswa di luar zona terdekat karena alasan prestasi paling banyak 5 persen, termasuk karena alasan khusus seperti perpindahan domisili orang tua atau wali.

Mengubah Mindset

Bagi peserta didik dengan tempat tinggal paling dekat dengan sekolah tentu akan diprioritaskan diterima, sehingga tidak akan terjadi lagi penumpukan pendaftar sekolah favourit. Namun, mengubah mindset orang tua dan siswa yang sudah terlanjur mengidolakan sekolah favorit cukup sulit. Hal ini sebagai bukti sekolah favorit tetap menjadi magnet bagi mereka. Pada akhirnya masalah kembali muncul. Zonasi membuat sekolah pinggiran dan non favorit sepi peminat, ditambah lagi lokasi sekolah yang bukan di kawasan penduduk produktif. Dampaknya, ada sekolah yang terpaksa tutup (gulung tikar) atau memilih bergabung (merger).

Beberapa berita juga mencuat baru-baru ini, seperti Kepala SDN di Ponorogo menangis setelah tidak dapat siswa baru, 110 SD di Sragen hanya dapat siswa baru kurang dari 10 anak. Hal yang sama juga terjadi di SD Bengkulu Tengah. Salah satu SDN di Bandung hanya dapat 15 siswa baru, bahkan ada Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) tanpa siswa baru. Tentu masih banyak berbagai macam persoalan sebagai penyebab sistem zonasi. Sebuah berita duka bagi sekolah, memprihatinkan dan berharap jangan sampai terulang lagi di kemudian hari.

Sementara itu, nafas sekolah adalah PPDB harus terpenuhi. Bila berhasil menjangkau siswa, maka sekolah akan terus berkibar. Maka, ketika belum terpenuhi, hal yang paling realistis dilakukan oleh sekolah dengan memilih memperpanjang masa PPDB.

Sebenarnya ada beberapa pilihan bagi siswa dapat memilih sekolah favorit dengan sistem zonasi yakni jalur prestasi, baik akademik maupun non akademik, afirmasi (jalur khusus) bagi masyarakat kurang mampu dan disabilitas tetap bisa bersekolah, serta jalur pindah tugas bagi calon peserta didik yang orang tuanya dipindah tugaskan.

Padahal pesan Ki Hajar Dewantara, “Dengan ilmu kita menuju kemuliaan.” Begitu pula Mahatma Gandhi, “Hiduplah seolah engkau mati besok. Belajarlah seolah engkau hidup selamanya.”

Pada dasarnya, belajar mempunyai tujuan yang mulia. Jangan sampai terkotori dengan yang tidak baik. Memilih sekolah favorit menjadi kebanggaan bagi siswa maupun orang tua. Namun, harus tetap dengan cara-cara yang benar. Jangan sampai melakukan dusta atau pemalsuan data. Kata mutiara “jangan ada dusta di antara kita” harus ditegakkan dan dipegang kuat-kuat oleh setiap orang.

Artikel ini ditulis oleh Marwanto; Dosen Bahasa lndonesia; Kepala Pusat Pengabdian Masyarakat UIN Salatiga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya