SOLOPOS.COM - Ariyanto Mahardika (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO — Matahari meninggi. Gunung Sindoro gagah di antara kabut yang menyelubungi.  Pada siang yang cerah, awal musim hujan, Peneliti Ahli Madya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sugeng Riyanto, menerangkan bagian per bagian Situs Liyangan di Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah.

Situs yang berabad-abad terkubur di kedalaman 10 meter hingga 14 meter itu ditemukan penambang pasir pada 2008. Sugeng memulai penjelasan dari teras paling bawah, tempat ditemukan petirtaan, lumbung bersama padi yang menghitam, kayu, dan tumpukan ijuk.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Di teras berikutnya ada talut berbahan batu andesit yang rapi, berukuran empat sampai lima batako era sekarang.  Pada bagian tengah talut ada yang terbuka sekitar 50 sentimeter persegi. Di antara batu berbentuk balok itu tampak batu-batu kali berukuran dua kepal tangan orang dewasa yang disusun, ukurannya hampir sama.

Beberapa bagian talut itu menggunakan batu baru karena tidak utuh saat ditemukan. Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah yang merestorasi situs tersebut. Sebanyak 30% sampai 40% harus menggunakan batu baru.

Hasil restorasi termutakhir situs yang diekskavasi pada 2010, 2012, dan 2018 itu menegaskan ada lapis-lapis peradaban. Restorasi bagian talut selama tiga bulan, rampung pada Agustus 2021.

Batu pada talut menunjukkan kompleks itu dibangun pada masa pra Hindu, sedangkan batu di sisi luar memperlihatkan masuknya pengaruh Hindu. Itu sengaja dibuat saat restorasi agar pengunjung mengetahui Situs Liyangan mempunyai peradaban yang panjang dan berkelanjutan.

Sugeng mengatakan itu di area situs saat mendampingi peserta Workshop Jurnalisme Arkeologi dalam rangkaian Borobudur Writers and Cultural Festival pada pertengahan Desember 2022 lalu. Tahapan-tahapan pengaruh zaman yang membentuk semacam lapis-lapis masa itu tidak hanya ditunjukkan pada talut area pemujaan, tetapi juga talut hunian.

Pada bagian talut hunian yang dieksvakasi pada 2012 mengindikasikan ada renovasi talut pada masa lampau.  Ini memperlihatkan warga masa itu mampu beradaptasi dengan lingkungan gunung berapi.

Ada perkiraan Gunung Sindoro pernah meletus beberapa kali, tapi letusannya mungkin kecil-kecil sehingga tidak sampai mengubur seluruh kompleks sebagaimana letusan pada abad XI.

Rentang waktu perabadan ditunjukkan dengan hasil uji karbon. Diperoleh informasi, situs ini diperkirakan ada sejak abad II Masehi.   Material vulkanis letusan Gunung Sindoro membuat data arkeologis terawetkan secara alami, termasuk benda-benda organik seperti arang.

Arang-arang itulah yang menjadi salah satu data kunci. Berdasar analisis  Carbon-14, rentang pertanggalan situs dari abad II hingga abad XI. Kompleks Situs Liyangan tidak hanya di Desa Purbosari, sebagian juga berada di wilayah Desa Tegalrejo.

Zona inti dari situs itu seluas 10 hektare, daerah penyangga seluas 17 hektare, area pengembangan mencapai 132 hektare, sehingga secara keseluruhan luasnya mencapai 159 hektare, termasuk yang berada di wilayah Desa Dlimoyo.

Letusan Gunung

Liyangan adalah situs komplet. Itu tak terlepas dari ragam temuan hasil ekskavasi, mulai dari bekas area pemujaan beserta perlengkapannya, area pertanian plus alat-alatnya, lumbung beserta padinya, hunian lengkap dengan perabotannya, jalan kuno, semua dalam kondisi relatif utuh.

Sejak kali pertama ditemukan hingga kemudian ekskavasi yang dilanjutkan sejumlah restorasi, situs ini kemudian dihubungkan dengan prasasti-prasasti pada masa Mataram Kuno. Di situs yang dinamai sama dengan nama dusun ini belum didapati peninggalan tertulis.

Sejumlah catatan atas penafsiran terhadap aksara-aksara dalam prasasti kembali ditengok. Dimulai dari Prasasti Rukam. Dari berbagai kajian, frasa …hilang dening guntur… mengundang sejumlah pandapat arkeolog.  Titi Surti Nastiti dan beberapa arkeolog lainnya menengarai desa yang hilang akibat letusan gunung itu adalah Rukam sebagaimana ditulis dalam Tiga Prasasti dari Masa Balitung yang terbit pada 1982.

Pendapat lain menyebut Rukam adalah desa pengganti atas status sima [semacam desa perdikan, bebas pajak] dari sebuah desa yang hilang akibat meletusnya Gunung Sindoro. Pendapat ini diungkapkan Jan Wisseman Christie melalui makalah bertajuk Register of The Incriptions Java Part III: 829-928 AD, sebuah kajian yang ditulis pada 2004.

Dua pendapat itu kembali ditelaah  Agni Sesaria Muchtar dalam Wanua I Rukam, Nama Asli Liyangan? Kajian terhadap Prasasti Rukam 907 Masehi sebagai Data Pendukung Penelitian Situs Liyangan yang dimuat dalam buku terbitan 2016, Mozaik Peradaban Mataram Kuno di Lereng Sindoro.

Prasasti Rukam ditemukan di Sungai Ngasinan, Desa Petarangan [dalam berbagai buku ditulis Petarongan], Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, pada 1975.  Desa di lereng Gunung Sumbing itu kini secara administratif masuk wilayah Kecamatan Kledung setelah ada pemekaran wilayah kecamatan.

Sungai Ngasinan berada di sebelah utara Bukit Botorono. Berdasar peta digital, jaraknya sekitar 16 kilometer ke arah selatan Situs Liyangan.  Agni Sesaria menerjemahkan dan mencermati prasasti yang dipahat pada masa Rakai Watukura Dyah Balitung itu. Pendapat Christie soal Rukam sebagai desa pengganti atas desa yang hilang ditelan letusan gunung itu lalu diyakini juga oleh Agni Sesaria.

Terbuka kemungkinan Situs Liyangan adalah desa yang lenyap diterjang lahar gunung api sebagaimana disebutkan dalam prasasti. Diperkirakan sebelum tahun 907 terjadi letusan Gunung Sindoro yang mengubur Situs Liyangan, kemudian sima atas wanua  ”Liyangan” kuno tersebut diganti dengan wanua i rukam yang berada di lereng Gunung Sumbing yang tidak aktif.

Prasasti Wanua Tengah III berangka tahun 908 Masehi menuliskan secara lengkap raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Prasasti ini juga dikeluarkan oleh Raja Balitung dan ditemukan di Desa Gandulan, Kaloran, pada November 1983.

Dari pahatan-pahatan pada lempeng tembaga yang dibaca para epigraf itu terungkap ada raja yang hanya memerintah dalam hitungan hari. Ini kemudian ditafsirkan sejarawan bahwa saat itu terjadi perebutan kekuasaan sebagaimana dilaporkan Majalah Tempo edisi 10 Desember 1984.

Pandangan lain disampaikan Sugeng Riyanto melalui buku Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung yang terbit pada 2020.  Pada saat Prasasti Rukam dibuat, Liyangan masih eksis dan terus berkembang hingga pertengahan abad XI.

Angka 907 Masehi sebagaimana tertulis dalam Prasasti Rukam tidak cocok dengan letusan besar Gunung Sindoro yang kemungkinan terjadi pada abad XI sehingga desa yang hilang dan status sima-nya dialihkan ke Rukam itu bukan Liyangan.



Sugeng menautkan salah satu raja Mataram Kuno, Tlodhong [ada yang menuliskan dengan Tulodhong], nama lengkapnya Rakai Layang Dyah Tlodhong, dengan Situs Liyangan. Nama itu antara lain tertulis dalam Prasasti Lintakan yang berangka tahun 919 Masehi.

Rakai adalah gelar penguasa untuk wilayah watak yang terdiri atas beberapa desa atau sima. Dia diangkat sebagai putra mahkota oleh Pu Daksa yang memegang tampuk kekuasaan setelah mengalahkan Rakai Watukura Dyah Balitung pada 908.

Waktu itu sangat mungkin daerah Layang juga dikenal dengan sebutan Layangan. Kata Layangan dan Liyangan sangat dekat. Hal itu perlu menjadi pertimbangan untuk mengatakan Liyangan adalah daerah Layang yang dikuasai Tlodhong.

Dalam buku yang diterbitkan Balai Arkeologi Yogyakarta itu, Sugeng mengungkapkan  Dyah Tlodhong berkuasa sekitar sembilan tahun hingga 928 Masehi. Raja berikutnya Rakai Sumba Dyah Wawa yang masa pemerintahannya dikabarkan amat singkat.

Setelah itu giliran Pu Sindok bertakhta mulai 929 dan pada masa pemerintahannya pusat kerajaan dipindahkan ke Jawa Timur. Erupsi Susundara, sebutan untuk Gunung Sindoro dalam prasasti, pada masa lalu itu diperkirakan juga menyebabkan Candi Pringapus yang berjarak 2,5 kilometer dari Situs Liyangan runtuh.

Candi utamanya roboh, sedangkan candi perwara atau pendampingnya rusak. Situs Liyangan dengan lapis-lapis peradabannya masih meninggalkan misteri yang selalu menawan tidak hanya untuk dilihat, tetapi juga legit untuk dikaji.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 2 Januari 2023. Penulis adalah jurnalis lepas dan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya