SOLOPOS.COM - Muthia Sayekti (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Sekitar  dua hingga tiga dekade silam, membicarakan gaji merupakan hal yang tabu. Sebagian besar anak-anak yang lahir dan tumbuh pada era 1980-an hingga 1990-an kerap tidak tahu berapa penghasilan orang tua mereka.

Ketika mereka bertanya tentang hal itu, orang tua mereka akan mengatakan bahwa pertanyaan itu tidak sopan. Mereka cukup menandai di sekeliling mereka hanya ada orang yang kaya, miskin, dan ”cukup” (untuk melabeli masyarakat kelas menengah).

Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan

Konon, masyarakat kita mulai mengenal konsep gaji pada masa kolonial. Kala itu, sebagian masyarakat pribumi mulai bisa mengenyam pendidikan formal dan bekerja sebagai pegawai pemerintahan Hindia Belanda.

Seperti kisah Minke yang dituliskan Pramoedya Ananta Toer (1981) dalam buku yang berjudul Anak Semua Bangsa. Sebelumnya, sebagian besar masyarakat bekerja sebagai petani dan nelayan.

Orang-orang masih bergantung pada alam sebagai sumber penghidupan. Imbasnya mereka yang tidak menjadi petani dan memilih menjadi pekerja pemerintah kolonial justru dianggap memalukan lantaran dituding sebagai pengkhianat bangsa.

Ditambah lagi saat itu masyarakat belum menilai segala sesuatu dengan uang, bahkan memori sebagian di antara kita tentu masih ingat tentang nasihat orang tua yang mengatakan bahwa tidak apa-apa sedikit, yang penting cukup.

Sampai akhirnya tibalah kita pada generasi kini yang mulai terbuka pada topik tentang keuangan. Membicarakan gaji menjadi hal yang tidak lagi dinilai saru. Masyarakat mulai merasa butuh belajar tentang angka-angka penghasilan.

Maraknya fenomena ini ditandai dengan populernya sejumlah mikroselebritas atau influencer di media sosial yang begitu cakap bicara tentang tips dan trik dalam mengelola keuangan. Contohnya adalah akun Jouska yang pernah begitu tenar, tapi pamornya seketika hancur karena tersandung kasus dengan kliennya.

Kemudian, bermunculan sejumlah nama seperti Ligwina Hananto, Prita Ghozie, Felicia Putri Tjisaka, dan masih banyak lagi. Misi mereka sekilas hanya untuk membagikan informasi dan edukasi agar masyarakat bisa bijak mengelola gaji.

Dengan adanya para influencer ini, sebagian besar masyarakat mulai paham pentingnya menabung, memiliki dana darurat, dan berani sedikit demi sedikit berinvestasi untuk memiliki passive income.

Bak bilah bermata dua, tren tentang literasi keuangan juga membentuk ulang cara masyarakat berbicara tentang uang dan gaji di ruang publik. Di media sosial, membahas gaji menjadi hal yang lumrah dan tidak lagi menjadi sebuah privasi.

Felicia Putri Tjisaka, misalnya, sempat menjadi sorotan setelah membuat konten dengan menampilkan seorang narasumber berpenghasilan Rp1 miliar per bulan yang beketja sebagai pebisnis di bidang asuransi.

Video di platform TikTok itu telah ditonton jutaan kali dan memancing berbagai respons. Rasa kagum, minder, bahkan cibiran muncul dari berbagai sudut. Ada yang menilai konten Felicia menginsipirasi dan memotivasi sejumlah warganet untuk lebih giat bekerja.

Strategi Marketing

Ada pula yang menilai bahwa konten tersebut sekadar pamer penghasilan. Sebagian besar penonton seolah ”bercermin” dengan kondisi penghasilan masing-masing. Layaknya konsep mirror stage yang dikemukakan oleh Jacques Lacan (1936), orang-orang berpenghasilan kecil mulai merasa bersalah dengan dirinya lantaran tak bisa berpenghasilan fantastis seperti sosok yang ia lihat di layar telepon seluler atau ponsel mereka.

Hingga akhirnya di forum Quora, seorang kontributor bernama Aries Saharra menulis latar belakang narasumber berpenghasilan Rp1 miliar per bulan itu. Berdasar hasil penelusuran Aries, perempuan yang bernama Juliana Permadi itu merupakan co-founder sebuah perusahaan asuransi dan bukan sekadar ”karyawan biasa”.

Tulisan Aries Saharra memunculkan asumsi bahwa sebenarnya Felicia, sebagai kreator konten, sedang memiliki misi sebagai affiliator dari perusahaan asuransi milik Juliana Permadi. Ssumsi ini tentu berhasil menyadarkan sebagian besar warganet yang sebelumnya merasa begitu kagum dan iri pada perempuan berpenghasilan Rp1 miliar per bulan.

Pada dasarnya konten tersebut hanyalah strategi marketing untuk beriklan tentang perusahaan asuransi. Alih-alih menjadi sesuatu yang memberikan efek jera, ternyata pola yang dilakukan Felicia masih direproduksi oleh sejumlah kreator konten lainnya.

Mereka mewawancarai sejumlah orang asing dan bertanya perihal gaji mereka per bulan. Fenomena ini membuat masyarakat kelas pekerja merasa lebih prestisius daripada masyarakat petani dan nelayan. Sebagian masyarakat desa yang dulunya petani dengan bangga mengadakan slametan ketika anak-anaknya berhasil menjadi pegawai.

Seperti yang ditulis Clifford Geertz (1989), slametan secara kultural sengaja diadakan dalam memperingati hajat baik sekaligus pengumuman tersirat kepada tetangga sekitar. Pengumuman bisa perihal apa pun. Bisa perkawinan, khitan, mobil baru, termasuk pekerjaan baru.

Nilai gaji menjadi kebutuhan primer yang layak untuk dibicarakan bahkan diperdebatkan. Sesuatu yang dulu begitu ditutup rapat di ruang privat, kini dengan mudah diakses siapa saja di ruang publik virtual bernama media sosial.

Hal ini mengingatkan saya pada tulisan Vincent Mosco (2017) yang mengidentifikasi bahwa masyarakat pada era Internet of things ini tanpa sadar telah menyerahkan data pribadi mereka di ruang virtual untuk dikonsumsi publik.

Mereka lalai tentang efek domino dari apa yang telah mereka lakukan. Informasi-informasi yang tadinya begitu privat itu tentu akan diolah oleh sejumlah pemilik kepentingan dalam melancarkan aksi.

Dalam wacana analisis big data, informasi dari pengguna itu nantinya akan dijadikan alat untuk menawarkan sejumlah barang atau jasa, baik yang sifatnya legal maupun ilegal. Mata dan telinga kita tentu masih jeli mengingat ketika masyarakat ramai-ramai geram saat pemerintah dinilai gagal dalam menjaga data-data pribadi kita.

Kini dengan gamblang kita juga disuguhi kelalaian masyarakat dalam menelanjangi informasi privat mereka sendiri untuk dikonsumsi oleh banyak orang, yang akhirnya menjadi tragedi.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 Februari 2023. Penulis adalah dosen di Program Studi Keris Institut Seni Indonesia Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya