SOLOPOS.COM - Anton A Setyawan, Kepala Pusat Studi Penelitian Pengembangan Manajemen dan Bisnis (PPMB) Fak Ekonomi Univ Muhammadiyah Surakarta

Anton A Setyawan, Kepala Pusat Studi Penelitian Pengembangan Manajemen dan Bisnis (PPMB) Fak Ekonomi Univ Muhammadiyah Surakarta

Pengusaha tahu dan tempe di kawasan Solo Raya mulai mengalami masalah produksi karena kenaikan harga bahan baku kedelai. Harga bahan baku kedelai impor dari Amerika Serikat (AS) naik sampai kisaran Rp7.800-Rp8.000 per kilogram dari sebelumnya hanya Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram [SOLOPOS, 25/7]. Kondisi ini memaksa pengusaha tahu tempe untuk menghentikan produksi mereka.

Promosi Komeng The Phenomenon, Diserbu Jutaan Pemilih Anomali

Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) tahu dan tempe sejak lama menyimpan masalah laten yaitu ketergantungan bahan baku terhadap kedelai impor. Hal ini sebenarnya ironis mengingat tahu dan tempe sering disebut makanan asli Indonesia, tetapi bahan bakunya justru diimpor dari AS. Penyebab utama kenaikan harga bahan baku kedelai sebenarnya dipicu oleh kekeringan yang melanda daerah pertanian utama di Midwest, AS. Departemen Pertanian AS menyebutkan produksi kedelai turun dari 81,25 juta ton pada tahun musim panen tahun 2011 menjadi 76,25 juta ton pada musim panen tahun ini.

Masalah kenaikan harga kedelai ini adalah ulangan kejadian tahun 2008. Pada saat itu, banyak UMKM tahu dan tempe harus menghentikan  produksinya karena kenaikan biaya produksi yang tidak sebanding dengan harga jual. Solusi yang diberikan pemerintah pada waktu itu adalah mencari sumber impor kedelai dari negara lain selain AS. Penulis yakin solusi untuk mengatasi kenaikan harga kedelai tahun ini juga sama, yaitu mengimpor kedelai dari negara lain selain AS. Namun demikian, solusi itu tidak mengatasi masalah mendasar dari industri ini yaitu kerentanan bahan baku dari fluktuasi harga dan pasokan.

Sebenarnya hampir semua industri berbasis produk pertanian di Indonesia mempunyai masalah yang sama dengan industri tempe dan tahu. Hal ini merupakan akibat ketidakjelasan tata kelola industri nasional secara menyeluruh. Pelaku industri dan pemerintah cenderung mencari jalan keluar instan yang hanya bersifat sementara, ada pun masalah fundamental tetap tidak terpecahkan.

Rantai Pasok Industri

Cetak biru dari sebuah industri pada intinya menggambarkan aliran rantai pasok dari industri bersangkutan. Mengacu pada pengertian dari Schroeder (2000), rantai pasok adalah urutan proses bisnis dan informasi dari sebuah produk atau jasa dari pemasok ke pabrik dan distributor sampai ke konsumen akhir. Pengelolaan rantai pasok yang baik dari setiap industri bisa mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin muncul di masa depan.

Pada prinsipnya pengelolaan rantai pasok dari sebuah industri adalah dimulai dari mengidentifikasi proses bisnis industri tersebut. Sebagai contoh, dalam industri tempe dan tahu, proses identifikasi diperlukan mulai dari pengolahan kedelai sampai di proses menjadi tempe dan tahu kemudian proses distribusinya. Informasi kunci yang diperlukan adalah apa saja bahan mentah dan bahan pendukung dari produk tersebut, biaya tenaga kerja dan operasional, modal, harga bahan mentah dan pasokannya, harga pokok penjualan dan total biaya produksi. Informasi tambahan yang juga diperlukan adalah dalam mata rantai produksi dan distribusinya pada tahapan apa yang paling rentan terhadap gangguan, siapa pelaku kunci dari setiap mata rantai produksi sampai distribusi dan bagaimana pembagian keuntungannya?

Informasi di atas menjadi dasar memetakan rantai pasok industri. Penulis menduga dalam industri tahu dan tempe, tahapan rantai pasok yang paling rentan terhadap gangguan adalah pasokan bahan baku. Argumentasi ini berdasarkan fakta bahwa industri tempe dan tahu sangat bergantung bahan baku impor. Sebagai catatan, data Departemen Perindustrian menyebutkan kecukupan kedelai di Tanah Air, 75 persen dipenuhi dari impor. Selain itu, kejadian kenaikan harga bahan baku kedelai yang berdampak besar pada insutri ini sudah terjadi dua kali yaitu tahun 2008 dan tahun ini.

Analisis rantai pasok secara sederhana sudah menunjukkan bahwa masalah dalam industri tahu dan tempe adalah masalah fundamental yaitu kekurangan bahan baku. Bahan baku industri tempe dan tahu berasal dari sektor primer yaitu pertanian, maka solusinya justru berasal dari industri pertanian dan bukan pada industri pengolahan tahu dan tempe. Masalahnya apakah pemerintah juga mengabaikan tata kelola sektor pertanian? Faktanya banyak kebutuhan hasil pertanian Indonesia justru dipenuhi dari mekanisme impor.

Sektor Pertanian

Pengelolaan sektor pertanian lebih mudah untuk dikonsepkan daripada dilaksanakan. Ada empat hal yang harus ditata dalam sektor pertanian, yaitu inovasi teknologi pertanian, alih fungsi lahan, kelembagaan dan stabilisasi harga. Inovasi teknologi pertanian di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan dengan tingkat kemajuan luar biasa. Kemampuan beberapa perguruan tinggi dan lembaga riset pertanian untuk mengembangkan bibit unggul dan teknik pengendalian hama bisa diandalkan. Hanya saja respons pemerintah untuk menggunakan teknologi ini sebagai prosedur standar dalam pengelolaan tanaman produktif tidak bisa diharapkan. Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman di beberapa kota besar tidak terkendali sehingga berdampak pada produksi pertanian.

Perubahan peran Bulog sebagai lembaga yang mempunyai kemampuan mengatur pasokan produk pertanian sangat mempengaruhi jumlah pasokan produk pertanian yang strategis. Dalam kasus krisis tahu tempe, peran pihak swasta importir kedelai sangat besar. Penulis yakin jika dampak kekeringan di AS sudah selesai dan pasokan kedelai di sana normal, harga kedelai tidak akan turun serta merta karena perilaku mencari untung dari para importir.

Kelemahan utama sektor pertanian adalah  harga produk pertanian yang fluktutatif. Hal ini juga terkait dengan peran Bulog yang tidak diberi kewenangan untuk melaksanakan stabilisasi harga. Dalam pengelolaan sektor pertanian, pemberlakuan kebijakan harga tetap diperlukan karena akan menjamin petani bersedia menanam komoditas pertanian strategis seperti kedelai. Kebijakan  harga tetap jelas membutuhkan subsidi, namun mekanismenya bisa disesuaikan dengan pemberian subsidi pada pengadaan bibit dan pupuk sehingga harga jual tetap menguntungkan petani.

Berdasarkan paparan ini kita bisa melihat bahwa krisis tahu tempe, makanan yang sering dianggap sepele ternyata solusinya tidak sepele. Selain itu, solusi masalah ini akan menyelesaikan permasalahan lain di dalam sektor pertanian maupun industri secara umum di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya