SOLOPOS.COM - Bambang Haryanto (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Pada 14 Agustus 1998, Sri Mulyani Indrawati hadir di Solo sebagai pembicara utama dalam seminar ekonomi. Solo saat itu mencoba bangkit setelah huru-hara Mei 1998. Seminar ekonomi yang diadakan oleh Forum Bisnis Surakarta (Forbis) itu juga didukung oleh PPK Bimo International, perusahaan mebel kayu milik pengusaha Joko Widodo (Jokowi).

Bambang Haryanto (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

Ada peristiwa yang menarik saat Jaya Suprana, sebagai moderator, memberikan pengantar yang berbau “nujum.” Saat itu Jaya Suprana mengatakan sosok Sri Mulyani Indrawati merupakan kandidat presiden Republik Indonesia masa depan.
Tiga belas tahun kemudian, rupanya “nujum” Jaya Suprana itu mulai terbukti. Minimal lanskap dunia politik Indonesia kini diramaikan dengan hadirnya partai baru, Partai Serikat Rakyat Independen (SRI) yang berdeklarasi mengusung mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) untuk maju dalam kontes perebutan kursi RI-1 dalam pemilihan umum presiden (Pilpres) 2014.

Kehadiran Partai SRI dan misinya itu yang oleh koran ini diangkat sebagai “isu yang seksi,” jelas kemudian tidak sepi dari komentar. Yang menonjol adalah pendapat mengenai betapa beratnya perjuangan SMI untuk memenangi Pilpres 2014. Pendapat itu untuk menggarisbawahi realitas sosok SMI sulit dijual di kalangan bawah yang merupakan mayoritas pemilih.

Dosen Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Gun Gun Heryanto, seperti dikutip Kompas (8/8/2011) menegaskan figur SMI sebagai basis kekuatan utama SRI bersifat elitis, hanya dikenal di kalangan kelas menengah ke atas. Terutama kalangan terdidik seperti kaum intelektual, akademisi, mahasiswa dan aktivis LSM.
Merujuk tamsil dari konsultan pemasaran teknologi dari Lembah Silikon, Geoffrey A Moore, kita dapat memperoleh gambaran yang menarik. Dalam buku terkenalnya, Crossing The Chasm: Marketing and Selling Technology Products to Mainstream Customers (1999), ia menggambarkan perilaku publik dalam mengonsumsi teknologi dalam bentuk kurva bel atau genta.

Pada sisi ekstrem kiri kurva, dikenal sedikit golongan yang ia sebut sebagai kelompok orang-orang yang memicu sebuah tren. Dalam kelompok ini tergabung para inovator dan pemakai awal (I/PA). Mereka adalah orang yang memiliki visi, mau membeli teknologi terbaru sebelum teknologi itu cukup sempurna, atau ketika harganya masih mahal.
Mereka bersedia menanggung risiko. Orang-orang jenis ini memang kecanduan teknologi baru dan mau berisiko mengeluarkan uang untuk memiliki gadget teknologi informasi garda depan.

Pada sisi kurva ekstrem kanan, terdapat kelompok terbelakang sebagai konsumen teknologi yang jumlahnya juga sedikit. Sementara itu komposisi paling besar adalah konsumen yang berada di tengah kurva genta, yang disebut sebagai mayoritas awal (MA). Kelompok ini dia gambarkan sebagai mereka yang khawatir terhadap suatu perubahan yang mereka nilai akan merusak keseimbangan dalam tatanan kompleks yang sudah mapan dalam hidup mereka. Moore menjelaskan perilaku kelompok inovator dan pemakai awal (I/PA) pada satu sisi dan kelompok mayoritas awal (MA) di sisi sebelah kanannya, walau berdekatan, sebenarnya saling tidak bersesuaian. Akibatnya inovasi tidak berpindah begitu saja dari kelompok I/PA ke kelompok MA, karena di antara kedua kubu itu terdapat jurang (chasm) yang cukup lebar.

Apabila ada sebuah produk teknologi tinggi tidak berhasil menyebar keluar dari kelompok I/PA, hal itu terjadi karena perusahaan pembuatnya tidak menemukan cara untuk mengubah gagasan yang mudah diterima oleh I/PA menjadi gagasan lain yang mudah diterima oleh anggota MA.
Sri Mulyani Indrawati dapat kita ibaratkan sebagai produk yang diterima oleh kelompok I/PA, tetapi seperti dikatakan oleh banyak pengamat, diri dan partainya akan sulit diterima oleh kelompok mayoritas awal yang kuantitasnya jauh lebih besar. Apa solusinya?

Kunci SRI dan SMI untuk menembus kelompok mayoritas awal (MA) itu kini sebenarnya telah tersedia. Yaitu media-media sosial, yang dapat hadir dalam beragam bentuk, misalnya milis, forum, blog, wiki, podcast, album foto dan video di internet. Primadonanya saat ini adalah Facebook dan Twitter di mana profil Radio BBC tentang Indonesia terbaru memuat angka menarik. Penduduk Indonesia 232 juta. Pengguna internet 30 juta. Pengguna Facebook 37 juta. Pengguna Twitter 5 juta. Pengguna BlackBerry 3 juta.

Partai-partai politik lalu tidak melewatkannya. Misalnya strategi yang ditempuh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sebagaimana dikutip situs politikana.com (1/3/2011), dalam meraih ambisi menjadi partai terbesar ke-3 dalam Pemilu 2014, PKS mewajibkan 500.000 kadernya memiliki akun Twitter, blog, Facebook dan situs pribadi.

Tidak ketinggalan Partai Golkar. Masa depan sukses memenangkan pemilu kuncinya berada di Facebook dan Twitter. Demikian kata Sharif Cicip Sutarjo, Wakil Ketua DPP Partai Golkar, sebagaimana dikutip situs The Jakarta Globe (25/7/2011). Ia tandaskan Partai Golkar menargetkan minimal 60 juta suara dalam Pemilu 2014. Dengan memanfaatkan meda-media sosial, ia bahkan yakin akan mampu menarik lebih dari 100 juta pemilih.

Partai Golkar tidak main-main. Kini mereka gencar menggembleng kadernya untuk terampil memanfaatkan Facebook dan Twitter. Ambisi ini kemudian menjadi bahan satire buku Komedikus Erektus: Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau (2011). Diungkap bahwa ketika Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie membuka akun Twitter ia langsung memperoleh pengikut sebanyak 300 juta. Jumlahnya bahkan melebihi jumlah penduduk Indonesia. Tetapi jangan bangga dulu. Angka ini terdiri para korban, keluarga dan mereka yang menaruh simpati terhadap rakyat yang menderita akibat luapan lumpur panas Lapindo.

Profil mayoritas pengguna media-media sosial itu adalah anak-anak muda. Dibanding para calon presiden lainnya seperti misalnya Aburizal Bakrie, Ani Yudhoyono, Jusuf Kalla, Wiranto, Prabowo Subianto, sosok Sri Mulyani Indrawati jelas tampil lebih fresh, lebih segar, di antara yang lainnya dan lebih dekat kohornya dengan para pengguna media sosial di Indonesia tersebut.

Kini tinggal terpulang kepada para pendukungnya bagaimana agar keuntungan digital ini menjadi modal SMI dan SRI agar mampu bersama-sama meloncati jurang untuk meraih kemenangan fenomenal dalam Pilpres 2014 mendatang. Ini sekaligus membuktikan apakah ramalan seorang Jaya Suprana di Solo 13 tahun lalu itu akan menjadi kenyataan.

Bambang Haryanto, blogger, tinggal di Wonogiri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya