SOLOPOS.COM - Tasroh (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Publik  patut mengapresiasi upaya wakil rakyat yang sedang membahas nasib pekerja rumah tangga atau PRT dalam agenda legislasi. Semoga Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga atau RUU PPRT segera menjadi undang-undang. RUU ini digagas sejak 2004 oleh pemerintah, namun hingga kini belum juga kelar.

Pekerja rumah tangga hingga kini masih terus mengalami tragedi di dalam negeri atau luar negeri. Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada 2022 menyebut pada periode 2017-2022 terjadi 2.637 kasus kekerasan dan eksploitasi pada perempuan dan anak. Sebesar 45% dari kasus itu adalah kekerasan dan eksploitasi pada pekerja rumah tangga yang sebagian besar adalah perempuan.

Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia

Sebanyak 35% kasus kekerasan dan eksploitasi pekerja rumah tangga tersebut juga mengancam nyawa para pekerja rumah tangga, khususnya pekerja rumah tangga yang bekerja sebagai buruh migran di keluarga dan lingkungan negara-negara Timur Tengah yang sudah sekian lama menjadi hotbed perbudakan modern pekerja rumah tangga asal Indonesia.

Hampir setiap tahun terjadi kasus kekerasan dan eksploitasi yang tak hanya merusak masa depan pekerja rumah tangga Indonesia di berbagai negara, tetapi sekaligus nihilnya pelindungan yang terstandardisasi dari negara. Sumbangsih devisa ke kas negara dari jasa ekspor pekerja rumah tangga, seperti dilaporkan Migrant Care Jakarta (2022), per tahun mencapai Rp9 triliun.

Nasib pahlawan devisa itu setali tiga uang dengan pelindungan pekerja rumah tangga di dalam negeri, yakni sering dibiarkan berjuang sendiri dalam melindungi dan menyelamatkan masa depan. Pelindungan yang diberikan negara biasanya hanya sporadis dan itu amat bergantung pada ketertarikan warga dan pembahasan di media sosial.

Banyak sekali kasus kekerasan, eksplotasi, dan berbagai bentuk pelecehan pada pekerja rumah tangga dan biasanya kasus-kasus tersebut tak semuanya dapat diselesaikan dengan adil dan tuntas. Sebagian besar dibiarkan dan lenyap ditelan kasus lain yang semakin menyakitkan hati para pekerja rumah tangga dan keluarganya.

Dalam lanskap inilah hehadiran regulasi UU PPRT tak hanya akan menjadi oase di tengah kegersangan pelindungan negara bagi sebagian warganya, tetapi juga menjadi payung hukum yang akan menjadi rujukan penegakan hukum dan upaya menyelamatkan masa depan pekerja rumah tangga yang semakin dinamis.

Formalisasi 

Pekerja rumah tangga selama ini dikenal sebagai pekerja informal dalam lanskap ketenagakerjaan di Indonesia yang hanya mengatur pekerja formal. UU PPRT semestinya juga mengubah paradigma ketenagakerjaan nasional kita dengan mengintegrasikan ke dalam regulasi ketenagakerjaan yakni Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pertimbangan formalisasi pekerja rumah tangga yang selama ini dianggap sebagai pekerja tidak formal mendesak dijadikan isu ketenagakerjaan nasional kita. Jumlah pekerja rumah tangga menurut survei International Labour Organizatioin (ILO)  Indonesia sebanyak 4,2 juta orang.

Memformalisasi pekerja informal tersebut menunjukkan perhatian dan kepedulian negara pada nasib pekerja jenis pekerja rumah tangga. Mereka yang selama ini disebut sebagai “pembantu” rumah tangga semestinya juga tidak berlaku lagi dalam tata kelola pekerjaan rumah tangga karena mereka masuk kategori “profesi”.

Dalam sebuah profesi ada standardisasi status ketenagakerjaan, yang paling prinsip adalah standar upah secara nasional atau daerah, dan ada hak-hak jaminan sosial berupa kesehatan atau ketenagakerjaan serta standar pelindungan hukum, sosial, dan ekonomi.

Pada saat bersamaan, paradigma “pelindungan” juga semestinya berlaku untuk semua pihak—pekerja rumah tangga selaku penerima pekerjaan atau pemberi kerja (majikan). Keduanya sama-sama harus mendapatkan pelindungan universal, tanpa kecuali.

Majikan yang dalam term UU Ketenagakerjaan disebut “pemberi kerja” juga harus mendapatkan pelindungan semesta, bukan hanya sebagai upaya negara menjaga aset negara, tetapi sekaligus sebagai wujud keberpihakan negara secara adil dan beradab dengan memberikan hak-hak ketenagakerjaan secara merata.

Majikan juga penyedia pekerjaan dan mereka berkontribusi positif pada stabilitas ketenagakerjaan nasional sekaligus berjasa dalam eradikasi pengangguran dan kemiskinan. Agenda RUU PPRT seyogianya memberikan pelindungan semesta dengan menegaskan pada “revolusi” status ketenagakerjaan, yakni pekerja rumah tangga tak lagi disebut sebagai pekerja informal, tetapi harus diarahkan sebagai pekerja formal.

Sebutan itu menjadi strategis karena bukan hanya akan mengubah total citra, tetapi sekaligus menjamin pemberian perlindungan menyeluruh pada pekerja rumah tangga, seperti halnya negara mengatur dan melayani pekerja/buruh di sektor industri atau pekerja formal lainnya.

UU PPRT diharapkan mewujudkan standardisasi kerja dan kinerja pekerja rumah tangga yang selama ini tak diakui publik. Praktik ini harus didukung penuh dan tidak mudah mengubah kultur yang selama ini sudah mendarahdaging. Majikan menjadikan pekerja rumah tangga laksana budak sehingga kerja tanpa waktu yang jelas.

Banyak perintah, namun minim upah layak. Biasanya pekerja rumah tangga adalah perempuan lemah yang mudah menjadi korban kekerasan dan pelecehan. Terhadap kebiasaan tersebut, standardisasi kerja pekerja rumah tangga dapat mencegah berbagai praktik penyimpangan dan pelanggaran hukum serta administrasi yang selama ini dianggap sebagai kelaziman.

Jaminan Hak Pekerja

Dengan formalisasi pekerja informal tersebut secara otomatis penyedia dan pemberi kerja (majikan) harus menyusun ulang sekaligus meredefinisi jaminan-jaminan hak pekerja rumah tangga seperti hak mendapatkan pelindungan, standar upah/gaji, hak kesejahteraan, hak profesionalisme pekerjaan, hak jam kerja, hak cuti, hak jaminan sosial kesehatan, dan kesejahteraan.

Di negara-negara maju, di Eropa misalnya, jenjang karier pekerja rumah tangga disetarakan sesuai jenjang karier dan pengembangan pekerjaannya. Pekerja rumah tangga jajaran staf, supervisor, hingga jenjang manajer di sebuah keluarga seperti sudah lama diberlakukan di keluarga-keluarga besar di Spanyol atau Denmark.

Di sana mereka menjadikan pekerja rumah tangga sebagai pekerjaan (profesi) yang memiliki hak-hak jaminan pelindungan standar, bukan jaminan pelindungan yang hanya ditawarkan sepihak (biasanya keputusan majikan) tanpa kejelasan dan kepastian hukum.

UU PPRT diharapkan jadi oase yang menyejukkan bagi masa depan pekerja rumah tangga sehingga tak lagi kita dengar pekerja rumah tangga disiksa majikan atau sebaliknya, tak ada lagi kabar gaji pekerja rumah tangga tak dibayar penuh, atau tak lagi terdengar aneka eksploitasi dan pelecehan pada pekerja rumah tangga pada masa  depan.

Jangan lagi terdengar kasus penganiayaan yang berujung pada hilangnya nyawa saudara-saudara kita akibat budaya perbudakan yang masih terus dibiarkan menimpa para pekerja rumah tangga kita. Selamat datang pekerja formal baru, pekerja rumah tangga, jasamu kini diperhatikan negara, sama dengan pekerja formal lainnya.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 Februari 2023. Penulis adalah aparatur sipil negara di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya