SOLOPOS.COM - Rumongso (FOTO/Ist)

Rumongso (FOTO/Ist)

Guru di Sekolah Dasar
Djama’atul Ichwan Solo

Promosi Iwan Fals, Cuaca Panas dan Konsistensi Menanam Sejuta Pohon

Peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei, eman-eman jika dilewatkan begitu saja. Saya hendak menandai Hari Pendidikan Nasional tahun ini dengan telaah kritis atas yang masih terjadi dalam dunia pendidikan kita. Hakikat pendidikan itu mampu mencerdaskan, membangun daya kritis, mengasah akal, membentuk nalar, dan  mengedepankan logika sehingga melahirkan bangsa yang bermartabat.
Tanpa pendidikan jangan harap suatu bangsa atau sebuah entitas akan dipandang oleh bangsa lain. Bangsa yang berpendidikan adalah bangsa yang tercerahkan kehidupannya. Dengan alasan–alasan itulah ada revolusi sunyi/silent revolution yang diperankan para pemuda idealis yang bergerak memperbaiki pendidikan, membuka akses pendidikan bagi semua anak bangsa di pelosok–pelosok Nusantara.
Revolusi sunyo itu dimotori intelektual muda yang juga Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan, berupa program Indonesia Mengajar. Mereka yang terlibat adalah sekelompok manusia nyata/real man, bukan manusia kardus. Kita sadar masih ada jutaan anak yang tidak memperoleh hak atas pendidikan yang layak karena berbagai kendala.
Mereka, kaum muda itu, adalah ”spesies baru” manusia Indonesia yang tergetar hati mereka untuk melayani bangsa. Mereka memilih jalan sunyi jauh dari ingar-bingar publikasi dan seremoni sebagaimana dilakukan oleh para pejabat negeri. Mereka bergerak dalam program Indonesia Mengajar atau program yang lain untuk mengajar Indonesia.
Tujuannya satu, demi bangsa Indonesia yang bermartabat. Membantu mewujudkan pendidikan yang mampu membawa kehidupan yang lebih baik. Non scholae sed vitae discimus kata pepatah dalam bahasa Latin.
Jauh sebelum mereka bergerak untuk mengajar Indonesia, sudah ada ribuan orang yang bergerak untuk melayani bangsanya. Mereka adalah para guru swasta. Mereka adalah ”spesies langka” manusia Indonesia. Saya katakan langka karena pada saat pemerintah memanjakan nasib guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dengan gaji dan tunjangan selangit, mereka memilih meniti jalan sunyi untuk terus bekerja, mengabdi kepada negeri dengan imbalan yang tidak dapat dihitung dengan rumus Matematika manapun.
Mereka mengabdi tanpa berpikir tentang seberapa banyak uang yang mereka terima. Bagi mereka hanya pengemislah yang selalu berpikir tentang uang. Pada saat guru berstatus PNS mandi uang gaji dan tunjangan sertifikasi, mereka tidak iri. Mereka sadar bahwa garis nasib berbeda meski memiliki tanggung jawab  yang sama.
Mereka mengisi ruang yang ditinggal dan diabaikan oleh pemerintah. Pemerintah hanya berisi orang–orang yang menderita penyakit autisme yang selalu sibuk dengan urusan mereka sendiri dan mengabaikan rakyat banyak. Mereka, para guru swasta itu, adalah anak bangsa yang patuh dan  taat kepada negara meskipun negara mengabaikan keberadaan mereka. Apakah yang diperoleh dari negara atas peran serta mereka mengisi otak anak bangsa lewat pendidikan? Nyaris tidak ada.
Padahal jutaan anak sudah mereka cerdaskan. Jutaan yang lain sudah mereka entaskan dalam rangka menggapai kehidupan yang lebih baik yang hanya mampu diraih lewat pendidikan. Pemerintah buta dan tuli terhadap mereka.
Pemerintah buta sebab tidak mampu melihat dengan jernih peran serta mereka. Pemerintah tuli sebab tidak mampu mendengar tuntutan mereka. Saat ada perekrutan CPNS suara mereka tidak didengarkan, padahal bakti mereka terhadap dunia pendidikan tidak perlu diragukan. Mereka menginginkan kesetaraan perlakuan oleh negara.

Spesies Pemangsa
Di samping lahirnya ”spesies” baru dan langka manusia Indonesia yang berkhidmat untuk melayani bangsanya agar menjadi bangsa yang terdidik dan bermartabat, ada juga spesies baru bernama parasit pendidikan. Mereka menyedot apa saja yang dapat disedot dari dunia pendidikan. Mereka tidak menghidupi dunia pendidikan, tetapi mencari hidup dari dunia pendidikan.
Mereka tidak mau peduli apakah dunia pendidikan akan kolaps atau hancur atau mati sekarat. Yang mereka pedulikan adalah perut mereka sendiri. Mereka menumpang hidup dari dunia pendidikan. Mereka duduk dalam jabatan–jabatan  penting  sektor pendidikan namun sebenarnya tak sedang membenahi dunia pendidikan agar lebih baik.
Mereka membawa dunia pendidikan sehingga ibarat berdiri di tepi jurang. Rumus mereka cuma satu yakni ambil, ambil dan ambil apa saja dari sektor pendidikan. Tentu saja lewat kekuasaan yang mereka miliki.
Di antara mereka ada bupati, walikota atau kepala dinas yang mengorupsi uang yang seharusnya untuk membeli buku ajar. Mereka menjadi penghuni penjara, campur dengan para bromocorah, maling ayam, copet karena melakukan korupsi dana pembelian buku ajar yang merugikan negara miliaran rupiah. Para parasit yang lain sedang antre menunggu giliran masuk penjara.
Ada yang kolu makan uang beasiswa untuk siswa miskin, mengompas uang tunjangan guru tesertifikasi. Idealnya seorang pemimpin itu ketika guru sejahtera, ia menjadi orang terakhir yang merasakan kesejahteraan itu, dan ketika guru menderita ia orang pertama yang merasakan penderitaan itu.
Ketika ada seorang guru yang berani berdiri tegak untuk membongkar boroknya, lewat kekuasaan  ia kucilkan guru itu. Tentu saja lewat para bawahan yang selalu berkata sendika dhawuh. Ia membantah habis data-data yang dikemukakan si guru itu. Namun, ujungnya ia masuk program rehabilitasi di rumah sakit jiwa setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.
Ia lupa bahwa kekuasaan tidak akan mampu membendung sebuah kebenaran.  Sejuta orang bisa mereka kibuli, namun mereka tidak mampu membohongi satu orang yakni hati nurani diri sendiri. Mereka inilah yang saya maksud sebagai salah satu contoh parasit pendidikan.
Para parasit ini sangat lihai dalam memangsa. Kesalahan mereka sulit dibuktikan lewat proses hukum, sebab mereka tahu persis bagaimana mengambil tanpa ketahuan, melakukan punguran liar atau pungli yang tidak menyisakan bukti. Hukum hanya berbicara lewat bukti, hukum tidak memiliki hati nurani.

Membasmi
Ketika dunia pendidikan dikelola oleh pejabat parasit, jangan heran jika dunia pendidikan akan terus terpuruk. Akan tetap dijumpai ribuan ruang kelas rusak, ribuan sekolah tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan kebutuhan pendidikan jutaan anak tidak terlayani dengan baik.
Sementara para pejabatnya hidup makmur. Jika mereka mencintai dunia pendidikan, pasti mereka tidak akan mematikan atau mengambil. Mencintai itu menghidupi dan memberi. Jika hukum ditegakkan oleh para penegak hukum, saya yakin para pejabat akan berpikir sejuta kali untuk melakukan tindakan durjana di sektor pendidikan.
Ada analogi Tiongkok kuno bahwa untuk membuat takut gerombolan monyet yang memangsa tanaman tangkaplah satu ekor lalu potong leher monyet itu di depan monyet yang lain. Pasti kawanan monyet itu ketakutan. Artinya, hukum berat para parasit agar kapok, takut dan tidak menular kepada yang lain.
Seharusnya dunia pendidikan steril dari para parasit, sebab dunia pendidikan adalah dunia keteladanan. Mungkin saya terlalu naif jika mengatakan silakan deh korupsi, asalkan jangan di dunia pendidikan. Kalau uang untuk membangun jembatan dikorupsi, paling hanya sebuah jembatan yang jebol. Tetapi, jika dana pendidikan yang dikorupsi, jutaan anak akan ”jebol” menjadi generasi yang hilang. Taruhannya adalah jebolnya eksistensi negeri ini!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya