SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Saya sampai saat ini masih pesimistis hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 akan memperbaiki secara signifikan kualitas demokrasi kita. Gejala demokrasi Indonesia selama lebih dari dua dasawarsa terakhir, sejak arus besar reformasi dan demokratisasi pada 1998, malah menunjukkan kemunduran signifikan.

Menurut indeks demokrasi versi Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia masih tergolong cacat (flawed democracy). Indeks demokrasi Indonesia selama era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) cenderung meningkat, dari 6,41 (2006) menjadi 6,95 (2014).

Promosi Santri Tewas Bukan Sepele, Negara Belum Hadir di Pesantren

Kemudian dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo skornya berfluktuasi. Sempat mencapai 7,03 pada 2015 dan pada 2022 mencapai 6,71. Penilaian berdasarkan lima indikator, yaitu proses pemilu dan pluralisme politik, tata kelola pemerintahan, tingkat partisipasi politik masyarakat, budaya politik, dan kebebasan sipil.

Kategori flawed democracy artinya prosedur demokrasi berjalan, tapi nir-esensi; lembaga demokrasi ada, bahkan lengkap, tapi tak bekerja optimal sesuai fungsinya. Demokrasi masih sebatas prosedural.

Capaian indeks aspek kapasitas lembaga demokrasi Indonesia, berdasar data Badan Pusat Statistik yang diperbarui sampai Juli 2023, pada kategori sedang, dengan skor 78,22. Indeks demokrasi aspek kapasitas lembaga demokrasi di tingkat nasional pada 2022 itu menurun dibandingkan capaian pada 2019 dengan skor 78,73.

Ini indikasi bahwa proses demokratisasi di Indonesia dalam kurun waktu lebih dari dua dasawarsa setelah gerakan reformasi 1998 cenderung bergerak lambat, bahkan ”jalan di tempat”. Eve Warburton dan Edward Aspinall menyebut kondisi itu sebagai democratic stagnation.

Data numerik itu juga menunjukkan secara implisit tentang karakteristik demokrasi kita yang relatif masih berkubang di tataran demokrasi prosedural.

Karakteristik penting demokrasi prosedural adalah pemilu diselenggarakan secara rutin untuk memobilisasi dukungan suara atau vote dari warga negara ini yang mempunyai hak pilih.

Persoalannya, selama lebih dari dua dekade setelah gerakan reformasi dan demokratisasi pada 1998, adalah suara (vote) yang dihimpun melalui pemilu itu muskil menghasilkan suara (voice) pascapemilu. Suara yang dimaksud adalah kebijakan negara yang mengartikulasikan secara presisi kepentingan rakyat.

Suara di pemilu yang diberikan rakyat tak berbuah suara pascapemilu karena peran lembaga perwakilan (DPRD, DPR, DPD) lemah dan partai politik tidak bekerja sebagaimana seharusnya sebagai lembaga demokrasi. Ini akibat pengaruh oligarki yang berkuasa penuh mengatur entitas lembaga demokrasi itu.

Pemilu sejauh ini hanya difungsikan sebagai instrumen oleh para elite politik (baca: oligarki) untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat dan untuk mengamankan kekuasaan atau hegemoni politik yang telah digenggam.

Skandal di Mahkamah Konstitusi yang ”memerkosa” hukum pemilu sehingga memungkinkan seseorang yang belum berusia 40 tahun menjadi calon presiden atau calon wakil presiden adalah gejala terkini dari kelemahan lembaga-lembaga demokrasi dan genggaman kuat oligarki.

Suara (vote) yang diamanatkan rakyat di pemilu tidak berdampak pada kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari pascapemilu. Capaian indeks variabel kapasitas lembaga demokrasi tahun 2022 itu mengonfirmasi karakteristik demokrasi prosedural.

Dalam tataran prosedur Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilu sebagai sarana menghimpun suara (vote). Keberhasilan ini menjadi tidak bermakna—untuk mewujudkan demokrasi substantif—karena lembaga perwakilan lemah, tidak menjalankan fungsi sebagaimana seharusnya lembaga demokrasi.

Reformasi dan demokratisasi yang diawali gerakan massa rakyat pada 1998 sejauh ini baru sampai pada menghadirkan lembaga demokrasi. Masa awal pascareformasi 1998 memang ada peningkatan signifikan kualitas demokrasi kita.

Saat itu kinerja lembaga-lembaga demokrasi terlihat nyata. Eman, kata orang Jawa, peningkatan itu tak dilanjurkan oleh rezim-rezim berikutnya. Gejala kemunduran demokrasi malah kian kentara.

Mengutip analisis pakar politik dan pemerintahan daerah lulusan The Department of Asian Studies Flinders University, Australia, Syarif Hidayat, dalam buku Demokrasi Tanpa Demos (LP3ES, 2021), penguatan kapasitas lembaga-lembaga demokrasi agar menjalankan fungsi tak mendapat perhatian serius.

Reformasi institusi demokrasi terkesan hanya bertujuan membangun ”citra demokrasi” di hadapan rakyat. Artikulasi elite politik yang enggan disebut ”memerkosa hukum” demi kontestasi dalam Pemilu 2024 dan selalu berkata ”serahkan kepada rakyat, biarkan rakyat yang memilih” adalah bukti terkiwari membangun ”citra demokrasi” yang nir-esensi.

Wajar apabila kini, nenurut Syarif Hidayat, kehadiran lembaga demokrasi (lembaga perwakilan dan partai politik, khususnya) sangat nyata dalam citra, tetapi tidak kentara dalam fungsi. Saya sepenuhnya sepakat dengan pendapat ini.

Dalam skandal ”pemerkosaan” hukum pemilu, partai-partai politik (sebagian) malah berada di barisan pendukung dan sebagian lainnya memprotes tapi hanya berhenti di kecaman dan kritik, tanpa tindakan riil sebagaimana fungsi lembaga demokrasi.

Ciri utama ”citra demokrasi” yang nir-esensi dan sepenuhnya merujuk pada konsep ”citra negara” (state image) adalah masifnya upaya menghadirkan lembaga negara dan revitalisasi aturan main (baca: termasuk memanipulasi aturan main) yang menyertainya, tetapi mengabaikan penguatan kapasitas negara dalam kehidupan sehari-hari (state in practice).

Berbasis refleksi demikian, seluruh pemilik hak suara di negeri ini—dalam menyambut Pemilu 2024—harus berpikir keras apakah suara yang akan diberikan tetap harus direlakan lagi berujung tanpa suara? Butuh kerja keras bersama—terutama di kalangan masyarakat sipil—mengoreksi kemunduran demokrasi kita.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 Desember 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya