SOLOPOS.COM - Rohmah Ermawati (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Bulan  April di Indonesia identik dengan Hari Kartini. Diperingati setiap 21 April sesuai tanggal lahir pahlawan nasional R.A. Kartini. Hari Kartini menjadi tonggak kebangkitan perempuan dalam memperjuangkan emansipasi agar mencapai kesetaraan gender.

Kesetaraan gender bukan perkara persaingan antara kaum Hawa dengan kaum Adam, tetapi upaya mendapatkan hak kemanusiaan. Hakikat kesetaraan gender adalah memastikan kaum perempuan dan laki-laki memiliki aksesibilitas terhadap sumber daya serta dapat berpartisipasi dalam kehidupan sesuai kepentingan dan aspirasinya.

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Buah dari gagasan emansipasi perempuan yang dicetuskan Kartini lebih dari seabad lalu telah kita rasakan saat ini. Kini semakin banyak perempuan yang dapat mengakses pendidikan tinggi sampai level doktoral hingga meraih gelar profesor sekalipun.

Banyak perempuan yang menduduki jabatan tertinggi dalam suatu institusi/lembaga. Misalnya, dalam kabinet saat ini ada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar, Menteri Sosial Tri Rismaharini, serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati.

Dalam Talkshow Hari Kartini Perempuan di Garda Terdepan Pendidikan dengan tema Leaders Talk: Kartini Masa Kini yang berlangsung di Multifunction Hall Radya Litera, Griya Solopos, Solo, Rabu (12/4/2023), hadir delapan rektor dan direktur perguruan tinggi di Kota Solo sebagai narasumber. Mereka semua perempuan.

Direktur Universitas Terbuka (UT) Surakarta Yulia Budiwati dalam gelar wicara tersebut mengungkapkan akses perempuan terhadap pendidikan mulai membaik. Hal itu didorong dua faktor, yakni kemauan perempuan mengakses informasi serta perempuan mulai menyadari ada yang salah dengan budaya masa lalu yang cenderung patriarki.

Meski akses pendidikan perempuan lebih baik, masih terdapat gap dengan laki-laki. Mengutip data Indeks Ketimpangan Gender dan Komponen Penyusunnya Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk usia 25 tahun ke atas dengan minimal pendidikan SMA pada 2018 adalah laki-laki 38,3% dan perempuan 31%.

Pada 2029 laki-laki 39,8% dan perempuan 31,9%. Pada 2020 laki-laki 42,8% dan perempuan 36,8%.  Sedangkan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) pada 2018 menunjukkan laki-laki 82,7% dan perempuan 51,9%. Pada 2019 laki-laki 83,3% dan perempuan 51,8%. Sedangkan pada 2020, TPAK laki-laki 82,4% dan perempuan 53,1%.

Berdasarkan hasil penghitungan BPS, indeks ketimpangan gender (IKG) Indonesia masih cukup tinggi, tetapi cenderung turun sepanjang tiga tahun, yakni dari 0,436 pada 2018 menjadi 0,421 pada 2019 dan turun lagi menjadi  0,400 pada 2020. Penurunan tersebut disebabkan membaiknya semua aspek, yakni kesehatan, pemberdayaan, dan pasar tenaga kerja.

Meski ketimpangan antara laki-laki dan perempuan sedikit demi sedikit terkikis, faktanya perempuan masih kerap mengalami perlakuan diskriminatif dan ketidakadilan gender. Hal itu meliputi stereotipe/citra baku, yaitu pelabelan terhadap perempuan sering kali negatif dan pada umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan.

Kemudian, subordinasi/penomorduaan, yaitu anggapan perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Contohnya, sejak dulu, perempuan mengurus pekerjaan domestik sehingga dianggap sebagai kanca wingking atau teman di belakang.

Masih terjadi pula beban ganda/double burden. Berbagai observasi menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% pekerjaan dalam rumah tangga. bagi perempuan yang bekerja di luar rumah, mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik dan sebagainya.

Kemudian, yang juga masih terjadi, adalah kekerasan/violence terhadap perempuan, tidak hanya menyangkut fisik (perkosaan, pemukulan), tetapi juga nonfisik (pelecehan seksual, ancaman, paksaan, yang bisa terjadi di rumah tangga, tempat kerja, tempat-tempat umum).

Perempuan sebagai makhluk ciptaan Tuhan dikaruniai berbagai kelebihan dan kekurangan, demikian pula laki-laki. Dalam kehidupan laki-laki dan perempuan seharusnya saling melengkapi. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, beberapa waktu lalu mengatakan untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan pada kenyataannya butuh dukungan laki-laki.

Saya sepakat dengan Dosen Universitas Islam Negeri Walisongo sekaligus Co-Founder Aliansi Laki-laki Baru, Nur Hasyim, yang dalam gelar wicara Ketika Laki-laki Bicara Kesetaraan Gender beberapa waktu lalu menyatakan pentingnya transformasi nilai atau pemahaman laki-laki yang meyakini bahwa posisi pemimpin adalah otoritas kaum laki-laki.

Transformasi nilai atau pemahaman kepada laki-laki berarti mendorong laki-laki memiliki empati, terutama dari privilese atau kenyamanan, baik secara biologis maupun sosial yang dimiliki kaum laki-laki.

Selanjutnya adalah berbagi ruang. Laki-laki berbagi kekuasaan dengan kaum perempuan di sektor ekonomi, politik, dan sosial. Laki-laki harus berhenti memonopoli ruang dan berbagi peran dan tanggung jawab di sektor publik maupun domestik.

Nur Hasyim juga menekankan kesetaraan gender tidak boleh berhenti hanya di depan rumah. Kesetaraan gender harus masuk ke dalam rumah, termasuk di ruang-ruang yang paling privat. Laki-laki maupun perempuan harus saling berbagi peran dalam mencukupi kebutuhan hidup yang merupakan kebutuhan setiap manusia.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 April 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya