SOLOPOS.COM - Abdul Jalil (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Pemungutan suara Pemilu 2024 telah selesai pada 14 Februari 2024. Meski demikian, belum benar-benar selesai. Penghitungan surat suara masih berjalan. Penyelenggara pemilu kebanjiran protes karena dinilai tidak profesional.

Termutakhir, KPU diprotes kontestan karena menghentikan sementara rekapitulasi suara haisl pemilu tanpa penjelasan. Setelah gelombang protes muncul, KPU menjelaskan rekapitulasi di tingkat panitia pemilihan kecamatan (PPK) dihentikan untuk memastikan akurasi data perolehan suara yang terbaca dalam Sistem Rekapitulasi (Sirekap) sesuai dengan formulir model C di tempat pemungutan suara atau TPS (catatan penghitungan suara di TPS).

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Terjadi kesalahan membaca data pada Sirekap. Sistem yang salah membaca data ini membuat suara kontestan menggelembung dan tidak sesuai dengan data penghitungan suara sebenarnya. Keanehan data ini juga telah diungkap ke publik melalui beragam platform media sosial.

Saya mengecek laman pemilu2024.kpu.go.id. Di salah satu TPS di DKI Jakarta terlihat jumlah pemilih hanya 219 orang, namun perolehan suara dalam pemilihan presiden dan wakil presiden totalnya lebih dari 700. Jumlah pemilih di setiap TPS maksimal 300 orang.

Kekeliruan data ini ternyata tidak hanya di satu TPS. Banyak warga mengunggah kekeliruan data tersebut. KPU mengonfirmasi terjadi kesalahan data di Sirekap. Jumlahnya data salah itu di 2.325 TPS, data di Sirekap tidak sesuai dengan formulir model C.

Banyak kalangan menduga kesalahan ini by design untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran. Dugaan ini bukan tanpa alasan karena Presiden Joko Widodo adalah ayah Gibran. Dalam beberapa kesempatan, gelagat Presiden Joko Widodo menunjukkan keberpihakan itu.

Potongan-potongan peristiwa dalam Pemilu 2024 kemudian membuat asumsi sebagian kalangan menemukan benang merah dan sampai pada kesimpulan bahwa Pemilu 2024 penuh rekayasa.  Sebelum pemungutan suara, penguasa dan KPU mendapatkan kritik tajam.

Kritik hanya berhenti pada kritik, tidak mengubah apa pun. Mungkin suara-suara kritis itu hanya dianggap angin lalu dan bahkan dianggap partisan. Ketua KPU Hasyim Asy’ari menerima sanksi peringatan keras terakhir dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Pada April 2023, Ketua KPU punya kedekatan pribadi dengan tersangka kasus korupsi sekaligus Ketua Umum Partai Republik Satu Hasnaeni Moein. Pada Oktober 2023, Hasyim mendapat sanksi etik karena aturan keterwakilan caleg perempuan yang bertentangan dengan UU Pemilu.

Termutakhir, Hasyim diberi sanksi peringatan keras terakhir karena dianggap tidak memberikan kepastian hukum lantaran menunda revisi syarat usia calon presiden-calon wakil presiden pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 ketika pendaftaran calon presiden-calon wakil presiden telah berlangsung.

Hasyim Asy’ari selayaknya mundur dari jabatan ketua KPU. Saya teringat pada kasus ketua KPU periode sebelumnya, Arief Budiman, yang mendapat sanksi dari DKPP berupa peringatan keras terakhir. Arief Budiman juga dicopot dari jabatan sebagai ketua KPU.

Saat itu, kasusnya adalah menemani komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN). Peringatan keras terakhir tiga kali untuk Hasyim Asy’ari ternyata tidak mengganggu jabatannya.

Entah siapa yang perlu dipersalahkan, yang jelas ini semakin memupuk dugaan ada “main-main” di lembaga penyelenggara pemilu itu. Anggaran negara untuk Pemilu 2024 mencapai Rp71,3 triliun. Anggaran untuk Pemilu 2024 menjadi yang terbesar dalam sejarah pemilu di Indonesia.

Pada Pemilu 2019, negara menggelontorkan anggaran Rp25,59 triliun. Dengan anggaran sebesar itu sepatutnya pemilu dijalankan sebaik-baiknya, seadil-adilnya, tanpa kecurangan, dan tanpa permainan kotor.

Penyelenggara yang netral, tanpa konflik kepentingan, sangat penting untuk menghasilkan calon pemimpin negara dan anggota legislatif yang terbaik. Publik berhak menelaah secata kritis kinerja penyelenggaraan pemilu sebagai kontrol oleh masyarakat.

Jangan sampai penyelenggaraan pemilu yang menelan anggaran jumbo itu hanya menghasilkan pemimpin yang cacat. Kalau memang ada kontestan dan publik yang mempertanyakan kinerja KPU, seharusnya kegelisahan itu dijawab dengan bukti-bukti yang benar.

Bukan malah hanya membantah dan merasa benar menurut versi sendiri, tanpa pembuktian yang memadai. Saya yakin kalau penyelenggaraan Pemilu 2024 berjalan dengan benar, sesuai koridor hukum, para kontestan akan menerima hasil pilihan masyarakat.

Para calon presiden dan calon wakil presiden tentu orang-orang yang paham dan dewasa dalam berdemokrasi. Kalah dan menang dalam pemilu tentu konsekuensi dalam berkompetisi. Kalau memang ada kontestan yang memprotes penyelenggaraan maupun hasil Pemilu 2024 dengan beragam cara, saya berharap KPU bertanggung jawab dan menjawab keraguan-keraguan itu. Integritas lembaga penyelenggara dipertaruhkan dalam Pemilu 2024.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 23 Februari 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya