SOLOPOS.COM - Akbarudin Arif (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Di  depan hukum dan kebijakan rakyat harus tunduk, tetapi tidak selayaknya menundukkan akal budi yang sehat. Akal budi harus tetap terbuka dan berdiri tegak karena dengan begitu keadilan dan kepatutan masih terlihat.

Dengan tetap membuka akal sehat rakyat mampu memprediksi apa yang akan terjadi jika sebuah kebijakan diterapkan. Secara kontekstual suasana kemerdekaan bersikap dan keleluasaan berpikir itu hanya akan terjadi dalam ruang pemerintahan demokratis.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Pada model ruang tata pemerintahan yang lain rakyat bisa jadi harus menundukkan akal sehat karena dipaksa tunduk dan diintimidasi. Sudah benar kaidah demokrasi mensyaratkan kemerdekaan dan kesetaraan.

Kota Solo adalah kota yang bertekad mempraktikkan perdamaian demokratis. Label kota partisipasi tidak hanya tentang perintisan dan penerapan musyawarah perencanaan pembangunan yang secara teknis bisa jadi telah menjadi termaju di Indonesia.

Kota ini diperhatikan kahalayak nasional, bahkan internasional, karena kota ini dipercaya sedang berkembang menjadi kota dengan tata pemerintahan demokrasi yang semakin matang. Di kota ini setiap kebijakan seharusnya disambut suka cita karena pemimpin kota sedang memikirkan warga.

Terkadang ada situasi yang tidak sempurna. Pemimpin menggagas kebijakan yang diharapkan membawa kebaikan bagi warga, tetapi sejak kebijakan itu dikeluarkan justru kegaduhan yang tertuai. Warga membaca kebijakan itu justru membebani.

Warga juga membaca kota sedang bergerak ke arah yang berkebalikan dari tujuan kebijakan. Keberatan atas rencana penaikan tarif pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah contoh situasi yang tidak sempurna itu.

Ketika artikel ini saya tulis, Solopos telah memberitakan penundaan kenaikan PBB oleh Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Keputusan wali kota itu sudah benar kendati bisa saja dianggap terlalu cepat.

Wali kota beserta jajarannya bisa mundur beberapa langkah tanpa memutuskan penundaan lalu secara terbuka mengundang dan memfasilitasi ide-ide terbaik dikemukakan secara terbuka. Jika perlu malah difasilitasi penyelenggaraan festival ide tentang PBB.

Dalam pemerintahan demokratis kebijakan perlu diuji sehingga menjadi teruji. Bisa jadi ujian terbuka lebih besar keperluannya dibandingkan melepas dan menarik kembali kebijakan itu. Warga kota ini harus belajar bersama-sama menentukan arah kemajuan.

Proses uji publik kebijakan menjadikan content of law diperiksa selaras dengan culture of law serta context of law. Dalam sepekan terakhir warga Kota Solo merespons negatif tagihan PBB yang melonjak tiga kali lipat hingg empat kali lipat.

Pemerintah Kota Solo telah melakukan studi tentang nilai jual objek pajak (NJOP) pada 2022. Studi itu mempertimbangkan peningkatan nilai jual tanah di Kota Solo yang naik dengan cepat. Ini disebabkan perkembangan wilayah dan tingkat perekonomian di Kota Solo.

Studi itu menggunakan metode survei zona nilai tanah di lima wilayah kecamatan. Hasil survei kemudian dianalisis. Berpedoman hasil studi itu, Wali Kota Solo membuat Surat Keputusan Nomor 973/97 Tahun 2022 tentang Penetapan NJOP Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Tahun 2023.

Penetapan itu menjelaskan kenaikan NJOP yang beragam di Kota Solo. Kenaikan itu meningkatkan nilai aset masyarakat. Penyesuaian NJOP menjadi sarana meningkatkan kemampuan masyarakat menjalankan usaha, khususnya dalam hal permodalan, misalnya mengajukan kredit di bank dengan agunan sertifikat tanah.

Keuntungan lain dari kenaikan PBB adalah pendapatan Pemerintah Kota Solo meningkat sehingga akan meningkatkan kemampuan membangun wilayah. Pemerintah Kota Solo telah mengantisipasi risiko kenaikan PBB yang oleh sebagian besar warga disebut “ugal-ugalan” itu.

Pemeringah Kota Solo menyiapkan penerapan stimulus melalui Peraturan Wali Kota Solo Nomor 1.1 Tahun 2003 tentang Pemberian Stimulus PBB-P2 Tahun 2023-2025. Pemberian stimulus itu dihitung secara berjenjang menurut kenaikan NJOP. Besaran stimulus 35% hingga 80%.

Setelah keriuhan menyeruak, Wali Kota Solo memilih membuat keputusan cepat, menunda pemberlakuan kenaikan PBB sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Sebetulnya tarif PBB secara relatif belum naik tahun ini.

Jika dilihat simulasi konten kebijakan, kenaikan dibandingkan dengan insentif menjadikan kedudukan faktual kewajiban membayar kenaikan tarif belum terjadi tahun ini. Kebijakan kenaikan tarif baru akan diberlakukan efektif setelah tiga tahun,

Asumsinya, yang pada 2022 membayar pajak Rp1 juta, pada 2023 terkena kenaikan sampai 500%, hanya membayar 20%. Itu berarti tahun ini warga kategori ini akan membayar pajak sama dengan tahun 2022, Rp1 juta saja, bukan Rp5 juta. Pola itu akan berlangsung sampai 2025.

Melompat

Cara mengeluarkan kebijakan dalam kasus ini tidak lazim. Kebijakan disahkan terlebih dahulu, lalu diuji dengan komplain publik. Dalam prosedur atau kaidah yang lazim, kebijakan melewati fase konsultasi publik, hearing, pemutusan, lalu baru komplain publik.

Rupanya pemerintah kota memilih prosedur melompat dalam pengaturan kenaikan PBB ini. Wajar komplain menyeruak masif. Cara melompat ini tidak perlu dilakukan lagi pada masa mendatang. Social cost bisa tinggi. Proses pemutusan kebijakan tidak perlu dilakukan melalui jalur yang membuat dongkol warga.

Pelajaran yang penting selain konten dan prosedur yang melompat adalah apakah kalau kenaikan tarif PBB berlaku efektif tiga tahun ke depan dengan begitu kebijakan ini tidak problematis? Tentu saja tetap problematis.

Setidaknya warga mempunyai waktu memberikan masukan, pertimbangan, dan kajian kepada pemerintah kota. Warga masih bisa mengisi sesi komplain publik sebelum kebijakan berlaku efektif. Inilah momentum yang seharusnya diambil warga.

Mengisi ruang publik dalam proses pemutusan kebijakan publik adalah momentum demokrasi kewargaan yang perlu dipupuk di Kota Solo. Warga harus unjuk diri dan bersuara. Setiap warga adalah duta kota, pemilik perkembangan kota.



Anggaplah sekarang kenaikan tarif PBB dibatalkan, bukan hanya ditunda. Warga bisa bernapas lega, tetapi pembatalan semestinya tidak hanya karena biaya tinggi tahunan yang menjadi beban pemilik properti. Ada yang lebih menyeramkan yang seharusnya dihindari dan menjadi alasan pembatalan lompatan tarif PBB ini.

Problem kenaikan NJOP yang diikuti kenaikan tarif PBB yang melambung tinggi yang menggambarkan situasi yang ”tidak faktual” bisa berbuntut transaksi bubble. Gelembung palsu. Tentu saja, misalnya, bank telah membaca situasi sehingga tidak akan mencairkan pinjaman lima kali lipat nilai aktual saat ini.

Itu dilakukan agar bank tidak kebobolan. Bank memiliki mekanisme keamanan investasi pada situasi rentan seperti ini. Yang menghawatirkan adalah jika kenaikan PBB adalah gambaran kenaifan bersama bahwa Kota Solo sedang diseret semakin kuat oleh gerbong gentrifikasi.

Warga dan pemimpin terlambat sadar bahwa kenaikan PBB berimplikasi berbeda bagi kelas menengah dan bawah. Istilah gentrifikasi atau gentrisme adalah istilah yang dicetuskan ahli perkotaan Ruth Glass pada 1960-an.

Lees et.al (2007) menyebut bahwa gentrifikasi adalah proses transformasi kelas sosial atau ketika sebidang lahan di kawasan perkotaan yang tadinya dihuni masyarakat kelas bawah menjadi kawasan kelompok kelas menengah yang biasanya diperuntukkan sebagai kawasan komersial.

Gentrifikasi sering kali diasosiasikan sebagai penyesuaian kebutuhan kelas menengah atau kaum kapitalis. Gentrifikasi cenderung terjadi di kawasan-kawasan yang letaknya berdekatan dengan kawasan permukiman kelas menengah atas (Guerrieri, 2013).

Gentrifikasi bertumpuk secara makna dengan marginalisasi, tetapi esensinya lebih kejam. Jika marginalisasi lebih berupa peminggiran, gentrifikasi secara substansi adalah penyingkiran sebagian warga kota secara ”legal”.

Tanpa kenaikan tariff PBB, sebetulnya sebagian lahan pertanian di pinggiran Kota Solo tidak lagi digarap petani. Kenapa? Karena biaya mengolah lahan mahal dan hasilnya tidak cukup untuk menutup biaya membayar PBB saat ini.

Jika PBB dinaikkan tiga hingga lima kali lipat, bukan hanya lahan pertanian yang berhenti berproduksi. Semua lahan, pekarangan dan rumah orang miskin, akan segera dijual kepada kelas menengah dan atas. Apakah itu yang diharapkan terjadi? Semestinya bukan itu yang direncanakan secara sadar akan terjadi di Kota Solo…

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 Februari 2023. Penulis adalah pengajar di Program Pascasarjana Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret dan Koordinator Komunitas Belajar Madani Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya