SOLOPOS.COM - Aris Setiawan (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Taylor Swift kini telah menjadi fenomena global. Kehadiran Swift dirindukan di banyak negara yang berlomba menjadi tuan rumah bagi konser musiknya. Di Asia Tenggara, Swift hanya manggung di Singapura lewat pertunjukan bertajuk The Eras Tour (2-9 Maret 2024).

Menteri Koordiantor Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa promotor musik di Indonesia kurang cerdas, tak mampu mendatangkan Taylor Swift ke Indonesia, padahal efek konser itu cukup besar, terutama di bidang pariwisata dan ekonomi.

Promosi Gonta Ganti Pelatih Timnas Bukan Solusi, PSSI!

Tahukah kita bahwa karya-karya Taylor Swift tidak hanya enak dinikmati di panggung musik, namun juga panggung-panggung akademik? Dunia kampus berlomba memasukkan apa pun tentang Taylor Swift menjadi kelas-kelas mata kuliah. University of New York, Clive Davis Institute, memberikan doktor kehormatan bagi Swift karena pengaruhnya di industri musik dunia.

Kampus itu juga menawarkan kelas unik, mengkaji karya Swift dan efeknya. Begitu prestisiusnya kelas itu, Brittany Spanos (penulis kawakan di Rolling Stone) didapuk menjadi pengajar. Secara khusus, psikologi dan karier Swift juga menjadi kelas di University of Arizona.

Di University of Texas di Austin, kelas tentang Taylor Swift berjudul “seni liberal” menelaah konstruksi lirik dalam lagu-lagunya, dianggap sebagai cerminan puisi atau karya sastra eksentrik abad ini. Di Eropa, University of Ghent di Belgia menawarkan kelas untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang diskografi Swift.

Kampus-kampus itu menjadikan Swift sebagai menu utama perkuliahan karena mengetahui konteks relevan antara musik dan sains. Musik adalah karya seni tak ilmiah, bentuknya bisa sekadar suara bising, noise, atau tak bernada, namun dalam proses penciptaan patut untuk ditelusuri wacana-wacana konseptual yang hendak diungkapkan.

Panggung ilmiah tidak berupaya membaca karya musik an sich, namun juga memotret perjalanan bagaimana karya itu dibuat, ide, dan gagasan di baliknya. Fenomena Swift di panggung akademik sekaligus menjadi autokritik bagi dunia pendidikan seni di Indonesia.

Selama ini kampus-kampus seni di Indonesia senantiasa memfokuskan arah kajian pada aspek kekaryaan dengan menyoroti nada, dinamika, ritme, tempo, dan harmoni. Musik dapat menjadi kajian interdisipliner, menyatukan pelbagai episentrum ilmu pengetahuan untuk bertemu; katakanlah sastra, ekonomi, sosial, politik, bahkan hukum.

Memahami Musik Pop

Kampus-kampus yang secara khusus mengkaji fenomena musik pop barangkali belum ada di Indonesia. Oleh karena itu, kita terlalu sulit melacak dinamika dan hegemoni perkembangannya. Sebagai akibat, kita juga seringkali gagal dalam memetakan ledakan yang ditimbulkan dari industri musik pop, seperti kalkulasi keuntungan ekonomi, sosial, perkara politik, dan hukum di selingkarnya.

Kurikulum kampus-kampus seni masih sibuk mencetak musikus atau seniman dibanding, misalnya, praktisi industri musik, kurator, pengkaji budaya media, dan sejenisnya. Efeknya jarang bisa dijumpai kelas yang secara khusus menyajikan materi musik populer dalam pelbagai kajian secara komprehensif dan tuntas.

Ini pula yang menjadi penyebab kenapa musik pop kita tak memiliki landasan sosial dan kultural kuat, cenderung meniru dan menjiplak gaya musik pop di negara lain, sebut saja Amerika dan Eropa. Menghubungkan musik dan sains adalah sebentuk upaya merumuskan strategi, melahirkan inovasi, dan bercengkerama dengan zaman yang terus berubah.

Temuan-temuan kampus dapat menjadi peta jalan, memberi arah kebijakan bagi perkembangan musik agar lebih baik. Hal itu didapat dengan memahami karakteristik, pola, dan tren dari para pelaku industri musik, terutama musikus dan pencipta lagu berpengaruh, kemudian dikupas dan dinarasikan menjadi materi-materi perkuliahan.

Kelas-kelas tentang Taylor Swift di kampus unggulan di dunia dapat menjadi titik picu bagi kampus-kampus di Indonesia untuk melebarkan wilayah kajian. Selama ini aksentuasi seni senantiasa dikaitkan melulu persoalan estetika, sementara di luar itu dianggap tak penting, dan karena itu pula tak layak menjadi bagian dari kurikulum.

Musik tak dipelajari secara holistik, terpisah jauh dengan wilayah kajian sosial-budaya lainnya, padahal di Indonesia, dalam rentang sejarah, telah mengalami pasang surut kekaryaan musik pop. Musik pop memiliki kecenderungan sebagai musik yang menemani lintas generasi.

Ketika kelas-kelas musik populer memetakan, membuat klasifikasi, dengan mengetahui kecenderungan pola kerja yang muncul pada tiap era maka kita dengan mudah mendapatkan lini masa perkembangan dan kekaryaan musik pop Indonesia dalam multiperspektif.

Kita akan mudah mengetahui kenapa lirik-lirik lagu-lagu Dewa 19 digemari, mampu mendatangkan keuntungan ekonomi besar, bagaimana kajian sastra dalam lagu itu, bagaimana karakter penciptanya, psikologi penonton, serta bagaimana proses pembuatan karya-karya terkenal itu.

Kajian-kajian lintas disiplin memberi banyak kemungkinan bagi terbentuknya ekosistem musik berkelanjutan dengan mengetahui rumus ideal “cara membuat musik yang enak dan menarik” bagi generasi tahun 1990-an. Para pemuda yang hari ini berniat menjadi musikus juga dapat menggunakan hasil kajian-kajian ilmiah dari kampus.

Kemudian melahirkan karya yang layak untuk dinikmati, tidak sekadar viral, apalagi demi konten. Terlebih hari ini persaingan dalam musik pop telah terbuka lebar, siapa pun dapat terlibat aktif di dalamnya tanpa sekat. Tidak ada satu kontrol apa pun, katakanlah perusahaan rekaman atau major label, yang mampu menghalangi jalan menjadi musikus pop. Setiap orang punya media sendiri.

Merujuk fenomena Taylor Swift, kelas-kelas ekonomi dapat memberikan pemahaman mendasar tentang model bisnis musik yang tepat untuk saat ini. Kita juga dapat mengetahui bagaimana musik itu dipasarkan, strategi membangun kontroversi, merek, menejemen, bahkan sampai pada hubungan parasosial dengan penonton atau penggemar.

Mempelajari Taylor Swift dan karyanya tentu tak hendak menduplikasi atau merepetisi yang sudah ada, namun untuk mengetahui kecenderungan-kecenderungan dari fenomena musik yang mampu menggerakkan pelbagai aspek penting di dunia, terutama ekonomi dan sosial.

Dengan berkembanganya teknologi dan perubahan perilaku konsumen, pemahaman tentang bagaimana musik populer diproduksi, dipasarkan, dan dikonsumsi menjadi semakin penting dalam melatih generasi masa depan pelaku musik (terutama lulusan kampus seni).

Integrasi musik populer dalam kurikulum pendidikan musik dapat membantu mempersiapkan mahasiswa menghadapi tantangan dan peluang dalam industri musik.

Oleh karena itu, penting bagi lembaga-lembaga pendidikan musik di Indonesia untuk mengadopsi pendekatan holistik terhadap kurikulum pendidikan musik dengan memasukkan musik populer sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari studi musik modern.

Jangan sampai lulusan musik kampus seni ciamik memainkan musik tradisi, tapi gagap dalam membangun jaringan global. Aduh…!



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 20 April 2024. Penulis adalah etnomusikolog dan pengajar di Institut Seni Indonesia Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya