SOLOPOS.COM - Arif Yudistira (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Peneliti  dan penyair Mochtar Pabottinggi pernah berkicau di Twitter berupa sepenggal puisi yang mirip kredo hidupnya: Seumur hidup tak pernah sekalipun kucemaskan kematian. Cemasku selalu jika Aku tak lagi bisa menyimak Dan berbagi cahaya (28 Desember 2018).

Seorang kawan mengunggah kembali cuitan itu pada hari Mochtar Pabottinggi terbang tinggi menghadap Sang Mahacahaya yang dia rindukan, 4 Juni 2023. Mochtar dilahirkan di kepingan surga Indonesia.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Ia lahir pada Jumat malam—menurut keterangan sang ayah, tepat setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, di Bulukumba, Sulawesi Selatan, dekat Pantai Losari. Ia dilahirkan diantara udara yang bersih, sungai yang mengalir, dan lumuran tanah.

Masa kecil dipenuhi panorama keindahan alam Indonesia. Sungai yang jernih, suara kicau aneka burung, elang yang mencengkeram ayam di desanya. Ingatan itu begitu kuat dan kelak memengaruhi perjalanan panjang pada masa depannya menginsafi dan meraih mimpi di negeri orang dan kembali ke tanah air yang amat dia cintai.

“Besarnya hasratku membaca sangat mungkin tak terpisahkan dari kesukaanku bermimpi,” kata Mochtar dalam salah satu tulisannya. Sedari kecil Mochtar tidak bisa lepas dari buku. Buku-buku itu menjadi temannya di bawah lampu senthir.

Ia mengenali Indonesia melalui buku Bahasaku. Buku itu membuatnya berhasrat menjangkau dunia di luar kampung halamannya. Masa kecilnya kerap diiringi bacaan Al-Qur’an ayahnya. Didikan ayahnya yang sangat kuat pada religiositas membekas sangat dalam dan menjadi bekal mengarungi samudra hidup.

Ayahnya juga yang memengaruhi kematangan intelektualitas dan spiritualitas—seperti yang dikatakan filsuf Karlina Supeli. Bekal spiritualitas itu yang membawanya mengunjungi Amerika Serikat dan menjalani hidup setelah itu.

Mochtar Pabottinggi tumbuh dalam kehidupan puitis pada masa kecil. Ia dikelilingi bentangan alam indah. Modal dan bekal kehidupan puisi itu membawanya memilih jurusan Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada.

Bakat sastranya bukan kaleng-kaleng. Puisinya dilirik Linus Suryadi A.G. dan dimasukkan dalam antologi Tonggak 3 (1987). Ia juga menerbitkan buku kumpulan puisi Suara Waktu (1999), Rimba Bayang-Bayang (2003), dan Konsierto di Kyoto (2016).

Puisinya sering menghiasi Majalah Horison, Majalah Sastra Horison, dan Majalah Basis. Ia juga seorang penulis cerita pendek yang piawai. Selulus dari Universitas Gadjah Mada pada 1973, ia bertandang ke Amerika Serikat.

Pada 1984 ia meraih gelar Master of Arts (MA) dari Universitas Massachusets, Amerika Serikat. Pada 1989 meraih gelar Doctor of Philosophy atau Ph.D. dari Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat.

Keinginan kuat menembus cakrawala menggenggam mimpi termaktub dalam novel biografis Burung-Burung Cakrawala (2002). “Aku selalu cemburu pada kemampuan burung-burung itu untuk terbang ke dan hinggap di mana saja mereka suka,” kata Mochtar di buku itu.

Pengalaman belajar di negeri orang tidak menghentikan kecintaan kepada dan panggilan dari tanah air tercinta. Bergulat dengan ujian dan kerasnya hidup di negeri orang tidak melunturkan sikap serta pribadinya yang jujur dan terbuka.  Ia tumbuh semakin matang, rendah hati, dan menjadi intelektual terpandang di Indonesia.

Mochtar Pabottinggi menjadi sastrawan dan peneliti. Ia dikenal sebagai penyair produktif pada 1970-an sampai 2000-an. Mayoritas publik mengingatnya sebagai peneliti tentang politik di Indonesia.

Aktivismenya terpanggil saat negeri ini mengalami berbagai masalah. Ia kritis sejak zaman Orde Baru sampai saat berpulang. Saat Komisi Pemgerantasan Korupsi atau KPK dilemahkan, ia berdiri di seberang, mendukung penguatan KPK.

Tulisannya menghiasi Kompas, Tempo, dan Jurnal Prisma. Esai Mochtar kerap menyoroti masalah kebangsaan dan keindonesiaan. Ia dikenal sebagai ilmuwan politik. Karya hasil penelitian yang, antara lain, Islam antara Visi, Tradisi, dan Hegemoni Bukan Muslim (1986).

Pada 1998 ia menerbitkan buku Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru. Pada 2000 ia menerbitkan Lima Palang Demokrasi Satu Solusi: Rasionalitas dan Otosentrisitas dari Sisi Historis-Politik di Indonesia. Pada 2009 ia menerbitkan buku bertajuk Kekuasaan dan Perilaku Korupsi.

Mochtar menekuni karier sebagai peneliti dan menjadi ahli peneliti utama di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Tulisan dan pandangannya yang jernih atas politik di Indonesia amat tajam dan mengentak. Keteguhan dan ketekunannya meneliti bidang politik menjadikan tulisan dan karya penelitiannya kerap dirujuk.

Sebagai resi atau begawan ia tidak mau berdiam di langit ketujuh. Ia terus gelisah menyoroti masalah keIndonesiaan melalui aktivisme dan tulisan-tulisan yang kritis dan tajam. Si Burung Cakrawala itu telah kembali ke kayangan.

Ia telah menemui dan kembali pada Cahaya yang dirindukannya. Ia juga telah purna membagi cahaya-Nya kepada kita. Hidup tulus dan jujur ia sumbangkan untuk ilmu dan Indonesia yang amat dicintainya. Terbanglah Si Burung Cakrawala…

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 8 Juni 2023. Penulis adalah tuan rumah Pondok Filsafat di Kota Solo dan pengajar di perguruan Muhammadiyah di Kota Jogja)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya