SOLOPOS.COM - Kaled Hasby Ashshidiqy. (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Belakangan banyak orang berdiskusi, berdebat, soal usia seseorang yang dikaitkan dengan kompetensi dan kelayakan. Lebih mengerucut lagi pada usia muda yang dikorelasikan dengan kemampuan dalam mengelola negara.

Ya, sudah bisa kita tebak dari mana topik ini berawal. Sejumlah pakar hukum tata negara dan pengamat politik menilai Mahkamah Konstitusi (MK) telah off side dengan memutuskan syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden tak harus 40 tahun sepanjang memiliki pengalaman menjadi pejabat yang dipilih dalam pemilihan umum, termasuk kepala daerah yang dipilih oleh rakyat.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Keputusan ini dinilai mengebiri peran DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang karena memutuskan sesuatu yang bersifat open legal policy. Baiklah, tak perlu kita panjang lebar mendebat masalah kontroversi, etika hakim MK, dan lainnya itu.

Biarlah persoalan tersebut diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Apa pun putusannya harus kita taati dan hormati. Mau bagaimana lagi? Kalau pun tidak puas, paling kita hanya bisa membawanya dalam ruang-ruang diskusi.

Keputusan MK ini telah membuat gelombang besar di tengah masyarakat. Ada gelombang yang mewujud gerakan, namun lebih banyak yang jadi bahan perbincangan dan diskusi di ruang terbuka.

Dari sekian banyak diskusi, perbincangan, dan perdebatan soal batas usia calon presiden dan calon wakil presiden di beragam kanal Youtube, ada satu yang menarik perhatian saya, yakni pemikiran soal pemimpin muda yang disampaikan Eep Saefulloh Fatah.

Ia adalah pendiri dan pemimpin PolMark Research Center, lembaga konsultan politik. Isu pemimpin muda ini begitu digelorakan di proses pesta demokrasi Pemilihan Umum 2024. Banyak pihak menyatakan sudah saatnya pemimpin muda diberi kepercayaan memegang jabatan yang lebih tinggi, memegang kendali di pemerintahan.

Tidak sekadar menjadi kepala daerah, tapi memimpin negara. Salah satu faktor pendorong adalah tingginya jumlah pemilih muda, dari kalangan milenial, pada Pemilu 2024. Konon, enam dari 10 pemilih pada Pemilu 2024 adalah kaum milenial. Artinya, nasib kaum milenial ditentukan oleh mereka sendiri.

Eep menilai muda itu tidak terpaku pada usia biologis atau fisik. Dalam konteks kepemimpinan, muda itu tidak sekadar berusia di bawah 40 tahun. Muda lebih mengarah pada pola pikir, cara kerja, sikap, dan landasan filosofi kerja.

Dua hari jadi anggota partai politik lalu dipilih menjadi ketua umum tanpa proses demokratis di partai tersebut, seperti kongres atau musyawarah nasional, dia anggap cara yang sangat tua. Cara-cara ini biasa dipakai oleh partai nonmodern yang belum mengenal demokratisasi.

Ironisnya hal itu yang dipraktikan oleh partai yang katanya membawa semangat anak muda. Partai yang isinya anak muda, yang biasa menyapa kadernya dengan sebutan bro dan sis. Partai anak muda yang seharusnya menjunjung tinggi asas demokrasi itu justru melaksanakan praktik-praktik oligarki. Kekuasan hanya dipegang oleh sedikit orang.

Jika yang terjadi seperti ini, makna muda sudah bergeser dari yang selama ini dipersepsikan. Masyarakat selama ini menilai muda itu dalam konotasi positif, tentang kesegaran, kreatif, inovatif, semangat berkobar-kobar, kemampuan mendobrak keterbatasan tanpa melanggar aturan dan nilai-nilai demokratis.

Muda itu tidak korupsi, tidak kolusi, dan tidak nepotis. Muda itu meraih sesuatu dengan usaha sendiri, berjuang dengan darah dan keringat sendiri. Kita tidak bisa meregenerasi kepemimpinan, menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada orang muda, tapi dengan cara-cara yang tua, kolot, konservatif, seperti menghalalkan segala cara dan otoriter

Dalam memaknai kata muda banyak dari kita yang terjebak pada usia biologis. Saat ini ada 25 bupati/wali kota dan wakil gubernur yang berusia bawah 40 tahun. Yang paling muda berusia 31 tahun dan jumlahnya lima.

Mereka adalah Panca Wijaya Akbar (Bupati Ogan Ilir), Vandiko Timotius Gultom (Bupati Samosir), Hanindito Himawan Permana (Bupati Kediri), Aditya Halindra Fardzky (Bupati Tuban), dan Muhammad Yusran Lalogau (Bupati Pangkep).

Apakah mereka ini yang disebut pemimpin muda? Dari segi usia, iya. Apakah mereka semua benar-benar pemimpin yang mencerminkan anak muda? Belum tentu demikian. Masyarakat yang menilai.

Bisakah mereka mengadirkan sesuatu yang baru dan segar dalam memimpin daerah atau sama justru sama dengan pendahulunya, doing business as usual? Muda adalah tentang tata, cara, dan landasaan filosofi kerja. Muda bukan soal usia karena usia hanyalah angka.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 November 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya