SOLOPOS.COM - Moh. Khodiq Duhri (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Malam semakin larut. Dua orang bersahabat masih asyik nongkrong di sebuah warung kopi di sudut Kota Salatiga baru-baru ini. Malam dingin tak sedikit pun mengurangi kekhidmatan mereka mengobrol santai.

“Sebisa mungkin jangan berurusan dengan wartawan. Kalau berurusan dengan mereka, susah!” kata Ponidi kepada sahabatnya Sarip.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Ponidi adalah mandor di lokasi tambang pasir, tanah, dan batu di wilayah Kabupaten Semarang. Ia merasa gusar saat mengingat pertemuan dia dengan kawanan yang mengaku wartawan beberapa waktu lalu.

Hla, kalau bekerja sesuai aturan dan tidak mengganggu kenyamanan orang lain, mengapa takut berhadapan dengan wartawan, Kang?” tanya Sarip setelah menyeruput segelas kopi hitam tanpa gula.

Sarip yang kebetulan punya pengalaman bekerja sebagai jurnalis di sebuah media massa terkemuka di Jawa Tengah itu tertarik menyimak keluh kesah Ponidi, sahabatnya itu.

”Mungkin mereka ini wartawan bodrex. Biasanya Bodrex—obat sakit kepala—jadi solusi mengatasi kepala pusing. Bodrex yang ini bukannya menyembuhkan pusing, malah bikin tambah pusing. Sebisa mungkin jangan sampai berurusan dengan mereka,” ujar Ponidi, sambil sesekali mengisap sebatang rokok yang tinggal separuh.

Ponidi menghela napas panjang. Ia teringat pengalaman tak mengenakkan saat menghadapi kawanan yang mengaku wartawan beberapa waktu lalu. Siang itu, saat ia bertugas mengawasi tambang, tiba-tiba didatangi empat orang yang mengaku wartawan.

Awalnya mereka bertanya soal legalitas tambang galian itu. Dia menunjukkan izin resmi yang dikeluarkan dinas terkait. Surat izin itu tidak cukup membuat empat orang yang mengaku wartawan itu puas.

”Mereka mencari-cari kesalahan saya. Tanya ini dan itu, ujung-ujungnya mencari celah kesalahan kami. Hla, namanya kesempurnaan kan hanya milik Allah. Sebagai manusia biasa, ya pasti tidak luput dari kesalahan, ta,” seloroh Ponidi.

”Mereka baru pergi setelah saya kasih amplop—berisi uang. Ternyata teman-teman [sesama mandor proyek] juga kerap didatangi mereka. Mereka tanya ini dan itu, tapi ujung-ujungnya minta duit,” kata Ponidi.

”Seharusnya Kang Ponidi tidak perlu memberi mereka amplop. Wartawan bodrex itu ibarat rumput di sawah. Memberi amplop sama saja memberi rumput itu pupuk. Kalau wartawan bodrex makin subur, makin banyak yang bergentayangan mencari mangsa. Ini lebih berbahaya karena korban bisa lebih banyak,” kata Sarip.

”Normalnya, seorang wartawan memperkenalkan diri dulu kepada narasumber sebelum memulai wawancara. Dari situ dapat diketahui siapa nama wartawan itu dan di media massa mana dia bekerja. Biar tidak lupa, silakan tulis nama dia dan nama media dia itu,” ujar Sarip lagi.

“Memangnya penting, ya, harus tahu nama dia dan di media mana dia bekerja?” tanya Ponidi.

Hla, justru itu. Wartawan profesional yang kompeten pasti nama dan media tempat dia bekerja tercatat di laman resmi Dewan Pers,” kata Sarip.

“Seberapa penting sertifikasi kompetensi bagi wartawan? Hla, kok malah kayak para guru yang juga diharuskan mengikuti sertifikasi kompetensi?” kata Ponidi.

“Tepat! Sama dengan guru yang harus mengikuti sertifikasi, wartawan juga perlu mengikuti sertifikasi kompetensi. Peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2010, yang diperbarui dengan Peraturan Dewan Pers Nomor 4 tahun 2017 tentang Sertifikasi Kompetensi Wartawan, menyebut ada enam tujuan sertifikasi kompetensi wartawan,” ujar Sarip.

Pertama, meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan. Kedua, menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan. Ketiga, menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik.

Keempat, menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi penghasil karya intelektual. Kelima, menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan. Keenam, menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers.

”Kalau nama wartawan dan nama media tempat dia bekerja belum terdaftar di Dewan Pers, apa saya boleh tidak melayani pertanyaan mereka saat mereka datang menemui saya?” tanya Ponidi lagi.

Hla, itu terserah sama sampeyan, Kang. Kalau wartawan itu suka mencari-cari kesalahan, tanya ini dan itu lalu ujungnya minta amplop, sudah pasti dia bukan wartawan profesional,” ujar Sarip.

Produk jurnalistik adalah karya intelektual. Proses pembuatannya harus melalui cara kerja yang profesional. Mulai dari menggali informasi sampai menyiarkan dalam bentuk berita. Ada kode etik yang harus dipatuhi.

Produk jurnalistik harus berdasarkan fakta, dapat dipertanggungjawabkan sehingga kalau ada yang menggugat penyelesaiannya dilakukan secara intelektual pula. Bukan main beredel atau membawa ke jalur hukum.

Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik menyatakan wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Suap yang dimaksud adalah segala pemberian dari narasumber yang dapat memengaruhi independensi wartawan.

Pemberian dari narasumber umumnya berupa amplop. Wartawan profesional dilarang menerima amplop demi menjaga independensi. Ketika wartawan meminta amplop, bisa disimpulkan dia bukan wartawan profesional.



”Oh, jadi begitu ya. Wah, terima kasih sudah memberi kuliah tentang bagaimana seorang wartawan bekerja. Sekarang saya jadi punya jurus ampuh untuk menghadapi mereka. Hehehe….”

Ya, wis, ini sudah larut malam, Kang. Mari habiskan kopi terus kita pulang,” kata Sarip sekaligus menyudahi obrolan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 6 Maret 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya