SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO—Tiap kali pemilihan umum (pemilu) hendak digelar, kota-kota dan daerah di negeri saya ini mendadak diserang amnesia. Itu adalah gejala umum, maksud saya, simtom amnesia itu tidak hanya saya temui di kota tempat saya tinggal dan beraktivitas, melainkan di hampir semua daerah.

Gejalanya sama dan sebenarnya sangat mudah bagi Anda mengenalinya. Menjelang pemilu-entah itu pemilihan kepala daerah, pemilihan calon anggota legislatif, pemilihan gubernur, sampai pemilihan presiden-jalan-jalan mendadak riuh dengan banner, baliho, sampai billboard. Ini memang fenomena lama dan sejujurnya tidak saya sangka masih ada pada 2022 ini.

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Sebelumnya, saya pikir media sosial mampu mengusir keriuhan hutan reklame menjelang pemilu. Bukankah media sosial mampu merepresentasikan semua kebutuhan komunikasi orang modern, mulai dari teks, foto, video, dan bahkan gabungan ketiganya? Jadi, saya pikir media sosial sudah lebih dari cukup untuk digunakan sebagai saluran kampanye plus TV tentu saja. Namun, begitulah, dugaan saya keliru.

Mulai awal tahun sampai hari ini, setiap kali berangkat dan pulang bekerja, saya akan menemui deretan baliho dan billboard yang isinya headshot para tokoh negeri ini. Wajah mereka selalu tersenyum pada orang-orang di jalan, termasuk saya tentu saja: entah saya dalam kondisi bahagia atau tidak begitu bahagia; dalam kondisi ikhlas maupun menggerutu; atau bahkan dalam kondisi terik maupun hujan lebat sekali pun. Wajah di billboard itu selalu tersenyum hingga saya kemudian mulai merasakan efek dejavu.

Tahap selanjutnya, saya masih hafal di luar kepala, media massa di berbagai kota mulai memberitakan maraknya baliho di jalan dengan narasumber para pengurus parpol di tingkat lokal hingga nasional. Tidak perlu membaca berita-berita itu karena sungguh saya sudah tahu komentar mereka.

Anda tahu bukan, ini masih 2022, dua tahun lagi menuju 2024. Jadi soal penentuan capres atau calon legislator masih jauh sekali. Jadi beginilah template jawaban para pengurus parpol dari tahun ke tahun (saya benar-benar mengandalkan ingatan untuk menuliskan ucapan mereka kepada para jurnalis jauh-jauh hari sebelum pemilu).

“Wah saya tidak tahu siapa yang memasang baliho itu. Mungkin sukarelawan. Bukan kami.” Älternatif kedua. “Ya sepertinya warga memang sangat ingin capres dari kelompok kami. Dapat amanah seperti itu, tentu kami senang sekali.” Alternatif ketiga. “Itu hadiah warga. Mereka antusias dengan pemimpin kami. Tentu kami senang sekali mendapat apresiasi seperti itu.”

Nah, saya rasa dejavu itu bernama amnesia. Saya baru menyadarinya saat salah satu lapisan memori saya terbuka dan mengingatkan saya tentang pemilu-pemilu sebelumnya.

Kondisi yang sama, pesta demokrasi yang sama, aktor-aktor yang sama, kalimat-kalimat yang sama, pengakuan ketidaktahuan yang sama, semuanya sama, repetitif, tidak ada yang berbeda. Sekarang coba pikirkan, bagaimana bisa para pengurus parpol itu selalu kesulitan memecahkan persoalan baliho yang sebenarnya tidak ada kebaruannya sama sekali?

Di sisi lain, kenapa saya sebagai bagian dari masyarakat juga tak pernah bertanya-tanya mengenai jawaban yang aneh itu. Setelah merenung lama, saya pikir sejatinya saya juga objek dari penyakit amnesia tersebut.

Sewaktu menulis ini, sambil berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi di sekitar saya, seorang anak balita yang belum genap dua tahun usianya, lewat di depan rumah. Anak kecil itu tetangga saya. Dia sering bermain ke rumah saya bersama kakeknya.

Anak kecil itu sangat riang dan suka bergerak, membuat kakeknya sering melontarinya pujian. Pujian yang klise sebenarnya karena saya sering mendengarnya, semacam: “Anak siapa sih ini? Lucu sekali,” atau “Anak siapa sih ini, kok pintar sekali.”

Saya sering membatin tentang kemungkinan si kakek itu menderita amnesia. Hla kok bisa-bisanya dia lupa sama cucu sendiri? Sembari geli memikirkan kemungkinan itu, kata amnesia kembali terngiang-ngiang di kepala saya dan saya rasa itu bukanlah sebuah kebetulan.

Diabetes

Momen itu memaksa saya menyadari bahwa amnesia adalah DNA saya, atau bahkan mungkin DNA negeri saya ini? Entahlah. Karena begitu seringnya diucapkan, tanda-tanda kultur itu seakan menjadi hal yang alamiah bagi saya. Padahal DNA kultur jelas-jelas kreasi manusia.

Yang harus saya (kita) terima saat berbicara perihal DNA adalah jelas kita tidak akan bisa memisahkan diri dari warisan sejarah, dari kultur kita. Bicara DNA kultur adalah berbicara tentang bagaimana cara kita memandang dunia seperti yang generasi sebelumnya ajarkan dan biasakan kepada kita. Ini tentang warisan. Soal keajaiban waktu, sebagai contoh.

Sekarang, saya akan ajak Anda mengingat legenda Bandung Bondowoso. Saya yakin Anda tahu legenda itu. Bandung Bondowoso adalah laki-laki yang sanggup membangun 1.000 candi dalam waktu semalam saja. Dia nyaris berhasil andaikata tak ada tipuan yang membuatnya sial.

Nah, saat mengingat-ingat cerita itu, lalu saya tarik garis merahnya dengan konteks sekarang, tentu saya masih ingat betul bagaimana kalapnya saya belajar pada waktu masih kuliah dulu, terutama ketika musim ujian tiba. Sering kali saya bahkan tak tidur supaya bisa membaca setumpuk buku hanya dalam waktu semalam!

Nah, apa Anda bisa melihat hubungannya? Kabar baiknya adalah karakter Bandung Bondowoso diwariskan secara adil kepada masyarakat di negeri ini. Itu berarti kelakuan teman-teman saya, bahkan dosen-dosen saya yang menyiapkan ujian sama saja. Istilah SKS (sistem kebut semalam) yang dulu membuat saya tertawa kini justru membuat saya meringis pahit.

Itu adalah contoh receh. Yang tidak begitu serius. Contoh yang lebih serius dalam konteks kekinian itu mungkin seperti munculnya sejumlah beleid dengan tiba-tiba lalu dibatalkan pada keesokan harinya. Anda semua tentu juga masih ingat bukan soal kebijakan kompor listrik, kenaikan tarif Candi Borobudur dan Pulau Komodo, lalu vaksin berbayar? Sejujurnya, susah sekali bagi saya mencerna segala keajaiban itu.

Dari Candi Borobudur, ingatan saya kemudian menuju cerita Kancil Nyolong Timun. Saya rasa tidak perlu contoh konteks kekinian untuk legenda ini karena seperti yang kita tahu, betapa masyarakat kita sangatlah kreatif dalam mengakali berbagai aturan demi kepentingan sendiri. Mungkin kreatif sebenarnya beda-beda tipis dengan licik, tapi siapa yang peduli? Ini adalah legenda Nusantara, bagian dari kehidupan kita, akar kita, asal-usul kita.

Saya kembali merenungi asal-usul saya. Seperti yang sudah saya sampaikan, warisan itu bukan hanya soal karakter, tapi juga penyakit yang kita derita seperti amnesia itu. Nah, apakah hanya penyakit amnesia yang kita warisi?

Sayangnya tidak!

Seusai amnesia tadi, saya kira kita semua harus bersiap-siap dengan penyakit yang lain. Namanya diabetes. Ini juga penyakit warisan.

Dalam pemilihan langsung, kita tidak bisa menghindari tahapan kampanye. Nah, di masa inilah penyakit diabetes akan menyerang. Sebab, ribuan politikus akan membombardir kita dengan rayuan maut mereka. Kalimat seperti, “Semua ini demi rakyat. Hidup saya untuk rakyat. Sungguh saya sangat prihatin dengan nasib rakyat. Saya adalah rakyat. Hidup saya sudah saya hibahkan untuk rakyat” akan kita dengar setiap detik, menit, jam, dan hari.



Jadi, bagaimana kita tak diserang diabetes berjamaah kalau setiap kali mata kita terbuka, kita harus mengonsumsi janji-janji manis mereka. Bagaimana kita bisa sehat jasmani dan rohani kalau segalanya menjadi berlebihan dan artifisial?

Baca Juga: Memeluk Jayengan

Pada akhirnya, sebagai bagian dari masyarakat di negeri ini saya berharap obat diabetes yang akan saya beli dari apotek nantinya manjur. Sungguh saya tak ingin kena diabetes lama-lama. Saya berharap obat itu mampu membuka nalar kritis saya tentang semua yang terjadi.

Saya harap obat itu juga mampu menyadarkan saya untuk membuang semua konteks simulasi yang saling berkaitan tiap kali pemilu tiba dan melihat tanda-tanda itu secara tunggal. Sebab, ketika semua konteks disingkirkan, semua pesan yang berkelindan dibuang, semua rangkaian cerita dilepas, yang tersisa hanyalah satu pesan, satu tanda, dan satu makna, yaitu perebutan kekuasaan. Hanya kekuasaan. Sebuah titik tanpa koma.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya