SOLOPOS.COM - Syifaul Arifin (Solopos/Istimewa)

Orang tua sering membandingkan pengalaman mereka dengan anak-anak mereka, seringkali dengan ucapan seperti, “Dulu ayah begini, kamu seharusnya sudah menikmati ini dan itu.” Hal ini seringkali mengarah pada perasaan anak yang merasa tidak mampu atau tidak dihargai, terutama ketika mereka disebut “cengeng” hanya karena menangis.

Namun, bagi anak-anak, situasinya bisa jadi sebaliknya. Menurut versi mereka, pengalaman yang mereka hadapi bisa jadi lebih berat.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Saya ayah dua anak. Sering kali berdebat dengan anak mengenai sejumlah persoalan. Berbeda angle dan perspektif  menyebabkan kami kadang eyel-eyelan. Salah satu yang sering jadi perbincangan soal anak Gen Z adalah betapa rapuhnya mental anak.  Punya masalah sedikit, langsung down, mengalami depresi alias stres. Banyak tekanan batin yang dialami anak-anak. Saat SD, harus berprestasi. Disibukkan dengan pelbagai kursus dan les. Saat SMP, sudah memikirkan apa yang akan dilakukan saat SMA. Belum lagi memikirkan kuliah hingga bekerja. Di media sosial (medsos), terpapar sejumlah keberhasilan yang dilakukan sebayanya. Sehingga makin bikin stres. Kalau main medsos, salah sedikit jadi korban bully. Ya, netizen itu merasa maha benar.

Beberapa waktu lalu, viral perilaku anak-anak yang menyakiti diri sendiri. Menyilet bagian tubuhnya lalu memfoto dan mengunggahnya ke medsos. Perilaku itu disebut non-suicidal self injury (NSSI) atau menyakiti diri sendiri yang tak termasuk bunuh diri. Dalam sebuah acara di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret (UNS), beberapa waktu lalu, psikolog dari UNS, Farida Hidayati, menyebut remaja mengalami pertumbuhan fisik, kognitif, dan sosial-emosional yang berkembang dengan cepat.  Namun, aspek-aspek itu tidak terkoordinasi dengan baik sehingga rentan melakukan NSSI.

Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) menyebut usia 10 tahun hingga 24 tahun menjadi kelompok rentan untuk melakukan tindakan  NSSI. Bentuknya beragam. ada yang menarik rambut, membenturkan atau melukai diri, mencubit, mengganggu penyembuhan luka, menggaruk sampai luka, menggigit, hingga memotong.

Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) dalam surveinya menyebut  satu dari tiga remaja Indonesia (10 tahun– 17 tahun) memiliki masalah kesehatan mental. Satu dari 20 remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja. Data yang sungguh wow.

Tak hanya soal menyakiti diri sendiri. Masih banyak yang dialami oleh anak-anak kita. Sembari berbuka puasa bersama beberapa hari lalu, saya dan beberapa aktivis pendamping anak mengobrol sejumlah fenomena anak di Solo. Dia bercerita sering mendapatkan konsultasi siswi SMP yang depresi. Ada yang hamil gara-gara diperkosa. Kasus lain, ada anak yang hamil dengan pacarnya. Sebagai pendamping anak, mereka sering mendapati kasus-kasus seperti itu. Tentu kalau mau diidentifikasi, banyak banget masalah yang dihadapi anak-anak kita.

Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menangani masalah-masalah itu. Tanggung jawab itu bukan hanya pada orang tua atau sekolah.

Ada regulasi soal peran berbagai pihak dalam melindungi anak. UUD 1945 Pasal 28B ayat (2) menyebut setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Kemudian Pasal 52 ayat (2) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebut hak anak adalah hak asasi manusia yang dilindungi sejak dalam kandungan sampai lahir dan bertumbuh. Kita juga punya UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Di Solo, ada Perda No. 10/2023 tentang Perlindungan Anak dan Perda No. 16/2023 tentang Penyelenggaraan  Kota Layak Anak. Pelindungan anak yang belum berusia 18 tahun itu perlu regulasi kuat agar mereka dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat  perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Saat ini Pemkot Solo tengah menyusun peraturan Wali Kota (perwali) Solo yang menjelaskan secara teknis dua perda soal anak itu. Perwali itu disusun Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Solo melibatkan berbagai pihak.

Ada yang menarik dari draf perwali, yaitu menyertakan pembahasan Rumah Ibadah Ramah Anak (RIRA). Rumah ibadah disebut ramah anak jika pengelola memiliki komitmen dan melaksanakan kebijakan antikekerasan terhadap anak, mewujudkan kawasan tanpa rokok dan bebas narkoba, dan berperilaku ramah kepada anak. Di RIRA, juga tersedia mainan anak. Aih, menarik ya.

Saat Ramadan seperti saat ini, anak-anak biasanya ramai-ramai ke masjid atau musala. Belajar Al-Qurán sembari berburu takjil. Kadang kala tak ikut salat tarawih malah mengobrol atau guyonan. Menghadapi anak-anak seperti itu, biasanya orang yang lebih tua memarahi mereka. Di RIRA, hal seperti itu takkan terjadi lagi. Anak-anak diajak mendekat ke rumah  ibadah, bukan malah dijauhkan, bahkan diusir. Di rumah ibadah, ada sarana untuk bermain, juga mengembangkan diri di bidang seni budaya. Asyik juga.

Selain itu, yang dibahas dalam draf perwali antara lain pelindungan anak dalam situasi darurat; anak berhadapan dengan hukum; dan anak dari kelompok minoritas dan terisolasi. Ada pula pembahasan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; anak yang menjadi korban penyalahgunaan  narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Kemudian anak yang menjadi korban pornografi; anak dengan HIV/AIDS; anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis, hingga anak korban kejahatan seksual;

Tak hanya itu, anak korban jaringan terorisme juga dibahas, lalu  anak penyandang disabilitas; anak korban perlakuan salah dan penelantaran; anak dengan perilaku sosial menyimpang; anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait kondisi orang tuanya;  anak jalanan;  anak yang melakukan perkawinan, dan anak usia sekolah yang belum sekolah.

Jadi, semua aspek dari masalah yang dihadapi anak-anak dibahas.  Namun, saya melihatnya lebih pada penanganan anak yang memiliki masalah. Sedangkan aspek pencegahannya, walau sudah ada, tetapi kurang kuat. Memperkuat pencegahan agar anak tak terlibat kasus hukum, terlibat terorisme, jadi korban perundungan, jadi korban kejahatan seksual, dan sebagainya. Semua itu demi anak-anak kita.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya