SOLOPOS.COM - Sholahuddin (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Kasus  penutupan patung Bunda Maria di Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa hari lalu menunjukkan toleransi yang belum selesai. Narasi yang berkembang adalah penutupan patung Bunda Maria dengan kain terpal dilakukan oleh pemiliknya sendiri karena belum berizin.

Ada fakta lain yang tidak bisa diabaikan. Bahwa penutupan itu juga karena desakan pihak lain yang merasa terganggu oleh keberadaan patung tersebut. Patung dianggap mengganggu umat lain dalam beribadah. Dalih ”mengganggu” perlu dilihat dengan perspektif kritis. Narasi ini sering digunakan kelompok intoleran untuk memersekusi kelompok agama lain.

Promosi Selamat Datang di Liga 1, Liga Seluruh Indonesia!

Narasi serupa digunakan untuk memprotes pendirian tempat ibadah. Termasuk digunakan memersekusi pemilik warung yang membuka usaha pada siang hari pada bulan puasa. Mereka dianggap ”mengganggu” kekhusukan orang yang beribadah puasa. Pertanyaan kritisnya adalah apakah tempat ibadah agama atau simbol agama berupa patung itu mengganggu ketertiban umum?

Mengganggu keimanan seseorang? Mengganggu  keikhlasan seseorang saat beribadah?  Apakah orang yang berpuasa imannya turun hanya karena ada warung makan yang dibuka pada siang hari? Apakah puasanya batal hanya karena melihat orang lain makan? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk menguji tindakan absurd seseorang atas nama keyakinan.

Sebenarnya membikin letih mendengar kasus pelanggaran hak asasi manusia seperti itu terus terjadi. Apa yang salah dengan semua ini?  Yang sering menjadi korban narasi ”mengganggu” ini adalah kelompok minoritas. Mereka rentan menerima penolakan, bahkan persekusi. Bukan hanya minoritas dalam relasi antarumat beragama, tapi juga minoritas dalam kelompok internal agama tertentu.

Toh, pada praktiknya, tindakan intoleransi tidak hanya dilakukan oleh penganut satu agama kepada penganut agama yang lain. Ada pula yang dilakukan oleh kelompok internal agama itu sendiri. Saat saya di Banyuwangi, Jawa Timur, mendapatkanbanyak cerita tentang penolakan pendirian masjid. Yang menolak umat Islam sendiri.

Beberapa kali pertemuan kelompok lintas iman yang saya ikuti menunjukkan  ternyata masih terjadi banyak tindakan persekusi dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu berbasis perbedaan keyakinan agama. Ada kelompok penghayat kepercayaan yang takut mencantumkan identitas keyakinan mereka di kartu tanda penduduk karena khawatir mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari lingkungan sosialnya.

Mereka terpaksa mencantumkan agama ”resmi” di kartu tanda penduduk. Dari sisi konstitusi, penghayat kepercayaan diperbolehkan menuliskan identitas di kartu tanda penduduk. Dalam sebuah forum diskusi, seorang aktivis di Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia Kota Solo menceritakan berbagai tindakan diskriminatif tersebut.

Tindak itu, antara lain, tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial. Dalam pertemuan tokoh lintas agama, penganut aliran kepercayaan tidak diundang karena dianggap bukan agama resmi. Para pelajar penghayat kepercayaan tidak mendapatkan pelajaran agama sesuai keyakinan mereka.

Demikian pula kelompok Syiah dan Ahmadiyah yang acap kali mendapatkan mendapat penolakan dari kelompok lain. Tokoh Ahmadiyah Kota Solo, Muhaimin Khairul Amin, dalam forum pertemuan tokoh lintas agama dan media, mengeluh karena sering dikonstruksi sebagai kelompok ”sesat” oleh pihak lain melalui pemberitaan di media massa.

Kelompok Ahmadiyah diberitakan hanya saat menerima persekusi dengan narasi yang dinilai merugikan, padahal banyak praktik baik kelompok ini yang tidak mengemuka di ruang publik melalui pemberitaan media.  Ahmadiyah merasa tidak mendapat hak yang sama di ruang publik.

Di republik yang berideologi Pancasila ini ternyata belum memberikan ruang aman bagi semua kelompok agama untuk mengekspresikan hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hak ini bukan hanya dijamin oleh norma-norma universal hak asasi manusia, tapi juga dijamin konstitusi negara kita.

Hak-hak Sipil

Indonesia telah meratifikasi hak-hak universal itu melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) atau Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Pasal 18 kovenan itu menjelaskan setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, bernurani, dan beragama.

UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing serta untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. Bila norma internasional dan nasional ini telah menjamin setiap orang untuk beribadah sesuai keyakinannya, lantas mengapa tindakan persekusi dan diskriminasi masih saja terjadi di bumi Nusantara ini?

Dalam konteks moderasi beragama, beragama yang berlebihan adalah cara beragama yang melanggar tiga prinsip. Pertama, melanggar nilai-nilai kemanusiaan dengan merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan orang beragama. Kedua, melanggar kesepakatan bersama, dalam hal ini adalah melanggar konstitusi negara. Ketiga, melanggar prinsip ketertiban umum.

Karena itu lah, dalih merasa ”terganggu” kemudian mempersekusi pihak lain yang tengah melaksanakan hak untuk beragama dan berkeyakinan adalah tindakan berlebihan. Perasaan ”terganggu” hanya perasaan subjektif yang tidak bisa diverifikasi dengan nalar yang sahih. Banyak tempat beribadah beda agama yang berdampingan, toh tidak ada masalah.

Di Ngargoyoso, Karanganyar, tiga tempat ibadah berupa masjid, gereja, dan pura dalam satu lokasi. Mereka baik-baik saja. Tidak ada yang memaksa menutup tempat ibadah agama lain dengan terpal. Ada orang yang memahami agama secara tidak pas. Mereka merasa benar sendiri. Ini yang menjadi akar intoleransi. Ada baiknya mereka membuka selubung hati dan pikiran agar lebih terbuka memahami karunia Tuhan yang amat berharga ini. Bukan malah menyelubungi simbol agama lain dengan terpal….

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 April 2023. Penulis adalah Project Leader Program Literasi Keberagaman Melalui Jurnalisme di Solopos Institute)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya