SOLOPOS.COM - Slamet Sutrisno, pengajar Filsafat Kebudayaan Universitas Gadjah Mada

Slamet Sutrisno, pengajar Filsafat Kebudayaan Universitas Gadjah Mada

Cukup menarik artikel yang ditulis Achmad Syukri Prihanto berjudul Menduga efek negatif Trans Studio. Fokus tulisan itu adalah potensi efek negatifnya, seraya heran kenapa ketika pengalihan fungsi bekas Pabrik Es Saripetojo menjadi mal ditolak, Walikota Solo Joko Widodo malah mendukung serius pembangunan Trans Studio. Namun, secara seimbang penulisnya memberikan beberapa saran bagi kemungkinan pembangunan megaproyek hiburan itu agar tak terlalu memarginalisasi masyarakat (bawah) di Kota Solo.

Promosi Piala Dunia 2026 dan Memori Indah Hindia Belanda

Trans Studio akan menjadi taman hiburan kolosal dengan harga tiket masuk mahal, Rp 150.000-Rp 200.000, yang dikhawatirkan melahirkan kesenjangan sosial alias diskriminasi akses. Demokratisasi yang ditawarkan berbarengan masuknya modernisasi memang melahirkan sejumlah kontradiksi dan paradoks, bahkan ironi. Lihatlah bandara internasional di Praya, Lombok Tengah, yang ketika dibuka beberapa hari lalu memunculkan adegan yang tak pernah dibayangkan oleh pendesainnya.

Ketika bandara itu dinyatakan dibuka, ribuan warga lokal berbondong- bondong mendekati pagar bandara, terheran-heran dengan bangunan raksasa modern maupun terkagum menyaksikan si burung besi raksasa terbang mengangkasa atau menclok dengan terampilnya di landasan. Para calon penumpang, terutama turis asing mendadak mendapatkan ”bonus” yang menelorkan rasa iba karena di bagian luar ruang tunggu melongok ratusan kepala penduduk ”melihat- lihat” para bule itu melalui ruang kaca.

Mereka melongo menatap orang-orang asing, sekaligus orang asing justru melongo mengetahui betapa naifnya penduduk setempat seolah bandara dan para penumpangnya adalah tontonan gratis. Dampak sosial-budaya dibangunnya Trans Studio, seperti diilustrasikan Achmad Syukri Prihanto, agaknya akan jauh lebih serius katimbang kenaifan penduduk Lombok Tengah. Saya akan berupaya memahaminya dalam keseimbangan persepsi, persis bagaimana kita mesti seimbang dalam memosisikan kehadiran modernisasi sebagai konteksnya. Sebagaimana tulisan berbau filosofis, tidak pernah akan mampu menawarkan teknik dan variabilitas administratif karena memang bukan lingkup kajiannya, melainkan asas, prinsip-prinsip dan barangkali juga konsekuensi dan risiko dari sebuah kehadiran yang akan membawa perubahan, apalagi kehadiran sebuah industrialisasi.

Trans Studio adalah proyek hiburan dengan sarana bermain dan sebagainya yang sanggup memberi katarsis bagi manusia-manusia super sibuk dan sekaligus merambah ranah hakiki hidup manusia. Bermain dan permainan itu–paling tidak menurut pemikiran Huizinga–adalah soal hakiki kehidupan manusia. Menyediakan taman bermain sungguh menyediakan kebutuhan asasi manusia di tengah gerak dan bahkan pikiran masinal manusia modern yang makin merobotkan diri.

Di sinilah arti penting kehadiran susastera, sejarah, tarian, nyanyian dan seni seumumnya, tetapi juga kehadiran ide-ide filosofis yang mengajak manusia modern untuk masih menyisakan kesempatan hidup secara reflektif. Modernitas yang memajukan dan menghebatkan kehidupan sekaligus telah memerosotkan kemampuan manusia sendiri dalam menikmati makna hidupnya. Orang berlebih dalam kepemilikan-–termasuk kepemilikan teknologis—namun kian banyak dari mereka yang memantulkan cita rasa nirkebahagiaan.

Trans Studio memiliki arti penting dalam memecah onggokan-onggokan ketidakbahagiaan tersebut, namun jangan diabsolutisasi sedemikian sehingga melupakan aspek industrialisasi dan monetisasinya (serba duit) yang tak mungkin terlepas dari perhitungan untung-rugi. Betapa pun megaproyek tersebut akan menyediakan reservoir kebermainan yang mengisi celah kemelaratan rohani pengunjungnya. Trans Studio akan mewujudkan suatu komoditas raksasa yang melekat watak dagang kerakusan.

Tran Studio pasti siap sekali mengganyang dan membunuh siapa pun yang lebih lemah. Pasti siap juga berkolaborasi politik-ideologis entah dengan birokrasi korup dan politikus oportunis maupun pemodal, pasti juga siap untuk bertega hati terhadap lingkungannya berhubung salah satu mata tombak penting kapitalisme adalah ketegaan itu. Janganlah berharap menjinakkan kapitalisme kecuali dari awalnya memang dipatok suatu kebijakan tegas oleh pengambil keputusan yang dalam jiwanya mengalir darah kearifan seperti pribadi Jokowi selama ini.

Paradigma
Jika demikian halnya, persepsi terhadap Trans Studio dalam konteks modernisasi-globalisasi adalah persepsi bagaimana nilai-nilai tradisi in term of wisdom mampu mengendalikan agresifnya industri modern yang tak urung akan dijadikan paradigma kehadiran Trans Studion. Jika politik mesti dihadapi atau dilawan dengan politik, ideologi dengan ideologi, Trans Studio nantinya perlu dijajaki agar bukan modernitas an sich menjadi paradigmanya, melainkan kehadiran modernitas-global yang memang niscaya itu justru dikelola dengan dan dalam paradigma wisdom.

Jadi, seperti dikatakan Don Adams dan Arlene Goldbard dalam Community, Culture and Globalization (2002), kompleks industri hiburan itu memandang kebudayaan sebagai bisnis, suatu kompleks dagang yang amat besar. Secara begitu, dengan mereduksi kebudayaan selaku medan dagang, globalisasi merampok diri kebangsaan kita terlalu banyak: hubungan kita dengan sejarah kebangsaan kita sendiri yang di situ tersedia reservoir ketahanan dan kreativitas komunitas, merampok kemampuan kita guna mendalami kembali masa lalu kita sebagai cara meraih faedah bagi masa depan dan juga merampok kesukacitaan kita menggali kreativitas diri kebangsaan secara tanpa batas. Demikian Adamas dan Goldbard.

Tentu saja akan merupakan simplifikasi jika dengan demikian Trans Studio serta-merta harus ditolak. Bukan. Mumpung belum dibangun, problem setting-nya mesti jelas dalam rangka merumuskan problem solving-nya. Bangunan industrial raksasa yang akan dikunjungi oleh bukan hanya masyarakat Solo, perlu dipikirkan proporsinya melalui kebijakan pemerintahan yang mengacuhkan prinsip-prinsip berikut ini.

Pertama, prinsip martabat manusia. Tiket yang rencananya dipatok Rp 150.000-Rp 200.000 akan mengabaikan martabat manusia lokal jika hanya karena tidak sanggup membeli tiket mereka dibiarkan melongo seperti melongonya masyarakat lokal Lombok Tengah terheran-heran menatap bandara raksasa dan para turis asing penumpangnya. Khususnya untuk murid dan guru sekolah, terutama pada jenjang yang rendah, agar dibebaskan mengunjungi Trans Studio karena budget APBD memang perlu menyediakan pembayarannya.

Martabat manusia adalah perkara bagaimana memosisikan manusia subagai subjek kegiatan dan pemikiran. Betapa pun ”remeh”-nya kedudukan mereka, tidak boleh ditempatkan hanya sebagai objek. Konon pula objek penderita sebagaimana mencolok pada langgam pemerintahan nasional masa kini.

Kedua, prinsip keadilan. Rencana pembangunan apa pun tidak boleh membawa cita rasa bahwa (sekelompok) masyarakat diperlakukan dengan ketidakadilan. Seturut mata tombak Pancasila, muara dari arus kepancasilaan adalah tegaknya nilai keadilan soial bagi seluruh rakyat Indonesia. Diskriminasi akses memasuki dunia hiburan hanya dibenarkan dalam kasus-kasus spesial dan unik, semisal kompleks pelacuran dan perjudian sebagaimana Ali Sadikin dahulu membangun Jakarta dengan melegalkan perjudian. Ketika itu, dengan mengizinkan hanya penduduk keturunan yang boleh mengunjunginya atas dasar falsafah mereka, berjudi itu membuang sial saja. Kompleks pelacuran misalnya, harus mendiskriminasi bahwa murid-murid sekolah tidak dibiarkan memasukinya.

Ketiga, prinsip emansipatoris. Ini adalah ide dasar modernitas itu sendiri yang mau membebaskan manusia dari represi kuasa heteronomia manusia yakni totalitariannya Abad Pertengahan yang diperankan oleh totaliterisme gereja selama lebih dari seribu tahun. Renaisans Eropa berhasil membangun kembali otonomia manusia yang melalui abad Aufklarung (Pencerahan) secara sukses menelorkan raksasa- raksasa keilmuan Rene Desacrtes, Galileo Galilei, Isaac Newton, Blaise Pascal, Imannuel Kant, yang memajukan kehidupan.

Namun, pada gilirannya, kemajuan sebagai ikon modernitas berbalik rupa menjadi mitos. Emansipasi manusia yang diimajinasikan berbalik menjadi represi oleh modernisme sendiri. Manusia modern adalah manusia yang sepi sunyi teralienasi di tengah kerumunan ratusan ribu bahkan berjuta manusia. Dan kerumunan manusia di berbagai metropolis dan megapolis dunia seperti New York, Tokyo, Singapura dan Jakarta, bahkan di Jalan Malioboro Jogja, sudah bukan lagi paguyuban komunitas melainkan onggokan pasir yang sejatinya terlepas butir satu dari lainnya.

Atomisasi masyarakat adalah risiko kemodernan. Sanggupkah Trans Studio tidak sekaligus mengalirkan arus atomisasi melainkan gerakan membangun komunitas kesoloan? Saya tidak tahu! Prinsip emansipatoris ini akan mengarahkan Trans Studio berperan sentral sebagai media pengetahuan di mana intisari kebudayaan adalah pembelajaran diri. Jadi, bukan sebaliknya, yang kehadirannya secara dominan membawakan arus penghiburan sekaligus arus pembodohan karena lebih sebagai kolektor keuangan berdasar jargon kapitalis buat mengeruk untung sebesar-besarnya.

Distorsi realitas
Janganlah lupa, teknologi modern bukan lagi berarti semata instrumen, melainkan di sana senantiasa termuat ideologi yang akan mendistorsi realitas, yang membodohkan. Ditimbang melalui fakta betapa memang masih belum cerdasnya masyarakat di level grass root, kecurigaan sedemikian bukanlah mengada-ada.

Filsuf Indonesia keturunan Jerman, Franz Magnis Suseno pernah menuliskan tantangan bagi budaya bangsa Indonesia yang paling mencolok datang dari simbol-simbol, pola kerja, konsumsi dan komunikasi budaya global yang melanda dunia mengikuti modernisasi. Trans Studio adalah sepenuhnya tantangan bukan hanya bagi elite melainkan seluruh masyarakat Solo, masyarakat Soloraya, bahkan masyarakat sebangsa.

Saya tak bisa mengusulkan rekomendasi, melainkan sekadar mengingatkan bahwa kebudayaan yang hidup adalah jika seluruh elemen sosialnya makin mampu ”menarik napas” berhubung hidup sendiri lekat dengan kebernapasan. Bila satu atau lebih elemen budaya itu tercekik, itulah pertanda bahwa kebudayaan kebangsaan tidak berkembang sebagaimana mestinya. Trans Studio akankah mampu membukakan ruang- ruang pernapasan itu atau di sini membuka sambil di sana mencekik?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya