SOLOPOS.COM - Indonesia kaya energi surya yang bisa diberdayakan menjadi pembangkit energi baru dan terbarukan atau energi hijau (green energy). (Istimewa/aa.com.tr)

Penyediaan energi di Indonesia sedang diupayakan beralih dari berbasis fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT). Transisi ini membutuhkan biaya sangat besar. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memproyeksikan percepatan transisi energi membutuhkan investasi hingga US$1 triliun atau setara Rp15.395 triliun pada 2060.

Fakta saat ini menunjukkan lebih dari 70% dari total energi nasional diproduksi oleh pembangkit listrik dengan emisi karbon yang tinggi karena menggunakan bahan bakar batu bara dan gas bumi. Hingga 2022 lalu bauran EBT (persentase antara total konsumsi final energi terbarukan terhadap total konsumsi energi final) hanya 14,11%.

Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler

Pemerintah menargetkan pada 2025 bauran EBT mencapai 25%. Itu artinya sejauh ini penggunaan batu bara dan gas bumi masih jadi pilihan dominan. Seluruh rangkaian proses pembangkitan listrik berbasis batu bara dan gas tersebut telah terbangun sejak puluhan tahun lalu.

Proses itu memberikan kontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca dan kerusakan lingkungan. Penggunaan batu bara dan gas bumi, meskipun efisien dalam hal pasokan energi, memiliki dampak lingkungan yang serius. Pembakaran batu bara menghasilkan karbon dioksida, penyebab utama pemanasan global.

Pertambangan batu bara jamak merusak hutan dan ekosistem air tawar, mengancam beragam spesies hewan dan tumbuhan, serta mengganggu kehidupan masyarakat lokal. Gerakan mengurangi emisi karbon di seluruh dunia yang makin masif memosisikan Indonesia sebagai objek peer pressure agar terlibat dalam gerakan mengurangi emisi karbon.

Transisi dari energi beremisi karbon tinggi ke energi rendah karbon menjadi topik yang menantang untuk dilaksanakan oleh pemangku kebijakan. Dalam Dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) terbaru, Indonesia menaikkan target pengurangan emisi menjadi 31,89% pada 2030 dengan target dukungan internasional 43,20%.

Sektor industri perlu inovatif dalam akuisisi teknologi dan investasi. Dengan investasi dan teknologi yang tepat Indonesia dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan menghindari kelaparan, anomali cuaca, serta tenggelamnya pulau di Indonesia maupun di Pasifik.

Visi yang mengemuka adalah menghentikan pembangkit listrik dengan emisi karbon tinggi dan menggantinya dengan energi yang rendah karbon. Indonesia telah merumuskan itu sejak pertengahan 2000-an dengan memasang visi ambisius, yaitu merencanakan pada 2025 sebanyak 23% sumber energi listrik nasional berasal dari EBT.

Transisi energi yang setengah hati ini membuat Indonesia tidak mungkin bisa memenuhi target tersebut. Target itu hanya akan menjadi  mimpi pada siang bolong. Indonesia masih bergantung pada sumber energi listrik dengan emisi karbon tinggi untuk keperluan industri.

Bauran energi memang menjadi satu cara yang paling mungkin untuk dilakukan. Penerapan bauran energi ini harus diperhatikan sungguh-sungguh. Target yang realistis dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat saat ini harus menjadi pijakan untuk menentukan visi bauran energi nasional yang dapat diterapkan dengan sepenuh hati, bukan setengah hati lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya