SOLOPOS.COM - Haryono Wahyudiyanto (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Perburuan gelar juara Liga Premier Inggris tinggal menyisakan dua tim, Manchester City dan Arsenal.  Kemenangan atas Chelsea 3-1 pada Rabu (3/5/2023) dini hari WIB membuat Arsenal menempati puncak klasemen.

Tambahan tiga poin dari derby London itu membuat The Gunners mengemas 78 poin, unggul dua poin daripada Manchester City. Namun, Manchester City baru memainkan 32 pertandingan, sedangkan Arsenal telah berlaga 34 kali.

Promosi Selamat Datang Kesatria Bengawan Solo, Kembalikan Kedigdayaan Bhineka Solo

Secara matematis, Manchester City bakal menjadi juara Liga Premier Inggris dengan asumsi memenangi enam laga tersisa. Dengan demikian, The Citizens bakal mengantongi poin maksimal 94 poin.

Enam pertandingan sisa Manchester City yaitu melawan West Ham, Leeds United, Everton, Chelsea, Brighton, dan Brendtford. Sementara nilai maksimal yang bisa dikumpulkan The Gunners dengan empat laga tersisa adalah 90 poin.

Empat laga itu melawan Newcastle, Brighton, Nottingham Forest, dan Wolverhampton Wanderers. Meski demikian, fokus Manchester City akan terbelah karena harus menghadapi Real Madrid dalam dua leg semifinal Liga Champions.

Berbeda dengan Arsenal yang hanya berkonsentrasi di Liga Premier. Persaingan Arsenal dan Manchester City dalam perebutan titel Liga Premier musim ini begitu istimewa.

Ini tidak lain karena sosok pelatih kedua tim yang merupakan guru dan murid. Josep Guardiola adalah sosok guru bersama Manchester City sedangkan Mikel Arteta yang mengarsiteki Arsenal adalah murid.

Sejak menginjakkan kaki di Etihad Stadium pada musim kompetisi 2016-2017, Guardiola langsung memoles Manchester City menjadi tim yang disegani. Berada di posisi ketiga klasemen pada musim pertama bersama Manchester City, Guardiola kemudian memberikan empat trofi kepada tetangga Manchester United tersebut hingga musim 2021-2022.

Hanya satu trofi yang meleset diraih, yaitu pada musim 2019-2020 saat gelar juara diraih Liverpool dan Manchester City menjadi runner-up. Fakta ini membuktikan Guardiola identik dengan trofi juara.

Prestasi itu sebelumnya dia ukir saat menangani Barcelona pada 2028-2012. Tiga trofi Liga Primera, dua trofi Copa del Rey, dan dua trofi Liga Champions dipersembahkan Guardiola kepada publik Catalan.

Demikian juga saat mengarsiteki klub raksasa Jerman, Bayern Munich. Lelaki kelahiran Santpedor, Spanyol, 18 Januari 1971, itu memberikan tiga trofi juara Bundesliga dan dua trofi DFB Pokal.

Performa itu  berbeda jauh dengan Mikel Arteta. Bagi mantan pemain Everton dan Arsenal itu, memimpin sebuah tim dalam babak akhir perebutan juara salah satu liga terbaik di dunia masih asing baginya.

Sejak dipercaya sebagai pelatih kepala pada akhir 2019, baru musim ini Arteta bersaing dalam perebutan gelar juara Liga Premier Inggris. Belum lagi Arteta yang merupakan salah satu pelatih termuda, kelahiran San Sebastian, Spanyol, 26 Maret 1982, harus memimpin skuat muda The Gunners yang mayoritas belum teruji menerima tekanan.

Berbeda dengan pasukan Guardiola yang sudah terbiasa menjadi juara. Dua tim teratas klasemen Liga Premier Inggris ini ternyata dipoles oleh pelatih yang pernah pernah bekerja sama selama lebih dari tiga musim.

Saat Guardiola memutuskan hengkang dari Bayern Munich ke Manchester City, ia mengajak rekan senegaranya itu ke Etihad Stadium sebagai asisten pelatih. Momentum ini bertepatan dengan keputusan Arteta menggantung sepatu sebagai pemain.

Ketika berada di Manchester City, Arteta diberi tugas memastikan ide Guardiola dapat dipahami dengan baik oleh para pemain. Tugas inilah yang membuat Arteta mendapatkan ilmu dari Guardiola.

Ilmu itu langsung dia terapkan saat diminta melatih mantan klubnya menggantikan Unai Emery di Emirates Stadium. Belum lama menjabat, Arteta langsung mempersembahkan gelar Piala FA. Namun, prestasi itu tidak menular ke liga tempat  Arsenal tersisih dari papan atas klasemen.

Kedua pelatih itu menerapkan gaya sepak bola posisional yang dibantu dengan pembagian zona di lapangan menggunakan garis-garis imajiner secara vertikal dan horizontal.

Bedanya, Guardiola selalu membuat perubahan taktik seperti membuat terobosan dengan formasi 3-2-4-1 tanpa pemain dengan posisi wingback. Lazimnya, ketika seorang manajer memakai tiga bek sejajar, mereka akan memakai dua wingback, seperti pada formasi 3-5-2, 3-4-3, dan beberapa varian taktik tersebut.

Pada formasi ini Guardiola menempatkan dua pemain di lini tengah dengan peran pivot. Guardiola juga memainkan gelandang serang atau winger. Di Arsenal, Arteta juga menerapkan gaya permainan posisional.

Permainan menghibur seperti era Arsene Wenger dipertontonkan. Arteta lebih sering memakai formasi 4-3-3 dengan beberapa kali menerapkan 4-2-3-1. Dengan pengalaman yang lebih matang didukung pemain syarat pengalaman, sejauh ini Guardiola lebih berhasil menerapkan gaya sepak bola yang mengandalkan ball possession ini.

Manchester City di bawah arahan Guardiola terlalu perkasa bagi Arsenal. Dalam 17 laga di semua kompetisi, Manchester City hanya kalah sekali dari Arsenal. Kini, guru dan murid yang dikenal disiplin dan pintar memompa semangat pemain tersebut sedang berebut trofi Liga Premier Inggris.

Kematangan dan pengalaman menjadi faktor penentu bagi Guardiola dalam meraih trofi kelima Liga Inggris di Manchester City. Sementara kejutan Arsenal bersama Arteta bisa membawa mereka mengakhiri puasa gelar klub menjadi juara Liga Inggris sejak 2004.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 Mei 2023. Penulis adalah wartasan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya