SOLOPOS.COM - Abdul Jalil (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Pekan lalu, di Kota Semarang, seorang juragan depot air isi ulang dibunuh secara sadis dan dimutilasi. Mayat juragan depot air isi ulang itu kemudian dicor menggunakan semen.

Tak lama kemudian pembunuh sadistis itu ditangkap polisi. Dia adalah karyawan si bos tersebut. Motif pembunuhan keji itu karena merasa sakit hati akibat sering dipukuli oleh sang bos.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Berita itu menjadi perhatian publik. Saya tidak habis pikir dan ikut geram ketika sejumlah warganet justru menyudutkan si korban pembunuhan sambil menormalisasi tindakan sadis si pembunuh.

Isi komentar justru banyak yang menyalahkan juragan depot air isi ulang dengan menganggap dia angkuh dan seolah-olah pantas mendapatkan perlakuan seperti itu.

Korban pembunuhan yang tergeletak tak bernyawa dengan kondisi mengenaskan malah disalahkan dengan alasan sepihak versi pembunuhnya. Apa pun motifnya, membunuh seseorang adalah tindakan yang sama sekali tak bisa dibenarkan.

Komentar-komentar ”jahat” tentang kejahatan juga mengemukadalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat yang melibatkan seorang jenderal, Ferdy Sambo, dan sejumlah anggota kepolisian.

Pembunuhan keji itu juga mendapatkan perhatian publik. Sebagian warganet terang-terangan memberikan dukungan terhadap Sambo, entah apa alasan mereka. Beberapa perempuan hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada saat proses persidangan sedang berlangsung.

Dalam keterangannya kepada wartawan, para perempuan itu mengatakan mendukung Ferdy Sambo dan menyebut Sambo membunuh anak buahnya karena membela istrinya. Dalam persidangan hakim menyimpulkan tuduhan Yosua melecehkan—secara seksual—istri Sambo tak terbukti.

Gelombang dukungan terhadap Ferdy Sambo bermunculan. Saya tak tahu pasti dukungan itu terjadi secara organik atau memang dikemas sedemikian rupa dengan memanfaatkan jasa buzzer.

Opini-opini yang berseliweran dengan perspektif membela pelaku kejahatan tersebut sungguh merusak nalar manusia. Kini akses publik untuk bersuara sangat dipermudah, jika dibandingkan era sebelum ada Internet dana media sosial.

Publik kini lebih mudah menyampaikan opini dengan perspektif masing-masing. Entah perspektif itu matang atau hanya serampangan. Ini yang menjadi persoalan. Tak mengherankan produksi perspektif nyeleneh itu terus muncul mengiringi setiap kejadian.

Perkembangan teknologi komunikasi ini memunculkan yang tak terbayangkan sebelumnya, yakni tsunami informasi. Setiap hari jutaan informasi diproduksi dan disebarkan lewat media digital.

Saya menyebut bukan hanya era tsunami informasi, tetapi juga tsunami perspektif. Kalau kita menengok media sosial, kita disuguhi beragam perspektif. Perspektif yang konstruktif maupun destruktif terhadap pengetahuan dan nalar kita.

Buzzer

Membanjirnya perspektif di media sosial menjadi makanan empuk bagi industri buzzer (pendengung) memanipulasi opini publik. Sejumlah penelitian mengungkap buzzer banyak digunakan untuk kepentingan politik maupun mempertahankan kekuasaan. Pendengung juga digunakan untuk membungkam pengkritik penguasa.

Para buzzer mengaburkan perspektif publik dengan perspektif yang telah menjadi agenda mereka. Perspektif yang dilontarkan jamak mencederai nalar publik, misalnya saat para dokter dan tenaga kesehatan menolak Rancangan Undang-undang tentang Kesehatan.

Para pegiat media sosial yang ditengarai sebagai buzzer pemerintah justru mengkritik aksi tersebut. Para buzzer ini mengaburkan fakta tentang tuntutan yang disuarakan para dokter dan tenaga kesehatan dengan perspektif sesat.

“IDI sedang demo RUU kesehatan. Sepertinya zona nyaman mereka mulai terganggu sampai hrus demo. Dokter kok demo. Trus nasib pasien gimna? Mereka ini sebenarnya sdg berjuang untuk siapa? Dunia kesehatan sedang bobrok dan ketika akan dibenahi, IDI justru demo.”

Itu salah satu cuitan di Twitter yang banyak mendapatkan respons. Kita bisa melihat bahwa perspektif yang diambil sangat sesat dan menyesatkan. Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Para dokter dan tenaga kesehatan berdemonstrasi atau berunjuk rasa karena menilai ada banyak hal dalam rancangan undang-undang itu itu yang sangat merugikan. Rancangan undang-undang itu berkaitan langsung dengan kinerja mereka.

Wajar mereka melakukan aksi protes demi perbaikan, tetapi aspirasi mereka dilawan dengan perspektif  “sampah” yang diproduksi dan disebarkan buzzer. Perspektif-perspektif itu dilontarkan dengan tujuan menggembosi gerakan pengkritik.

Kondisi demikian bisa menjadi titik kemunduran demokrasi kita. Saya tidak anti dengan keberagaman perspektif, namun ketika perspektif itu dilontarkan untuk memperkeruh keadaan dan merusak nalar publik jelas tidak sehat.

Lebih baik perspektif itu disimpan dalam hati sambil memperkaya pengetahuan. Dalam kasus pertama, apa jadinya ketika perspektif yang menormalisasi tindakan membunuh manusia dengan cara keji menjadi semacam inspirasi untuk melakukan tindakan serupa?

Ini tentu tidak kita inginkan. Kalau ada masalah dengan seseorang, kalau berkaitan dengan tindakan kriminal, ada baiknya diselesaikan melalui mekanisme hukum yang berlaku.

Dalam kasus kedua, merebaknya buzzer politik yang mengasong perspektif ngawur di media sosial kalau dibiarkan akan merusak demokrasi. Tsunami perspektif ini menjadi tantangan bagi publik era digital.



Masyarakat seharusnya lebih meningkatkan kecakapan literasi di dunia digital sehingga saat memungut perspektif baru di media sosial tidak langsung ditelan mentah-mentah.

Semua informasi dan perspektif diproses terlebih dahulu secara kritis sehingga media sosial menjadi ruang publik, yang menurut Jurgen Habermas, bisa digunakan sebagai ruang berdiskusi dan berekspresi secara bebas tanpa intervensi penguasa.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 19 Mei 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya