SOLOPOS.COM - M Fauzi Sukri, Penggiat Bale Sastra Kecapi dan Pengajian Senin Solo.

M Fauzi Sukri, Penggiat Bale Sastra Kecapi dan Pengajian Senin Solo.

Marilah kita berkota dan berkota-kota tetapi kita jangan tenggelam dalam kota (Driyarkara, 1956).

Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada

Pada setiap deru mobil, motor dan langkah kaki sekitar 22 juta lebih pemudik tampaknya selalu menyerukan satu hal: urbanisme! Setiap kali pulang kampung atau kembali ke desa saat Lebaran, seruan itu semakin keras.

Ayo menjadi manusia urban! Kits bids membayangkan, dalam langkah kaki mereka selalu terdengar,”Berilah sku kota!” sebagaimana dikatakan penyair Subagio Sastrowardoyo (1993) dalam satu sajaknya yang menggambarkan hasrat menjadi manusia kota.

Puisi Subagio Sastrowardoyo itu perihal orang desa yang melihat: Pemandangan berulang selalu/ Kabut, tipis mengambang di atas dusun/Air gemericik terbentur di batu/Tanpa berubah/Lenguh lembu bergema dan wajah/kusut terbayang di kolam berkerut/Orang desa tak kuat menyaksikan dan mengalami “gerak mati”.

Puisi Subagio Sastrowardoyo mungkin terlalu melihat desa sebagai landskap alam yang statis dan romantis tragis. Desa sebenarnya terus berubah tapi tidak pernah bisa menandingi dan mengalahkan rayuan menjadi manusia urban.

Masuknya televisi, teknologi komunikasi, teknologi moda transportasi dan pembangunan jalan raya membuat orang desa semakin terbujuk rayu untuk menjadi manusia urban. Mereka ingin lari dari desa/kampung mereka dan berteriak,”Berilah/aku kota dengan bising dan kotornya,” seperti dikatakan Subagio Sastrowardoyo dalam puisinya.

Di Indonesia, rata-rata pertumbuhan penduduk urban sekitar 2-2,5 kali lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk rata-rata nasional. Dengan pertumbuhan penduduk rata-rata 1,5% per tahun, pertumbuhan urbanisasi di Indonesia berkisar antara 3%-3,5% per tahun.

Menurut United Nation World Urbanization Prospect (1996), selama 2000-2025 sekitar 61% penduduk Indonesia akan menetap di kota atau penduduk kota akan bertambah sekitar 80 juta jiwa, dari 86 juta jiwa menjadi 167 juta jiwa dari jumlah total sekitar 275 juta jiwa.

Untuk itu, dalam 25 tahun yang akan datang, Indonesia membutuhkan sekitar satu juta hektare lahan untuk permukiman penduduk urban baru—Anda bisa membayangkan sekitar satu juta lebih lapangan sepak bola—belum lagi untuk lahan industri, pariwisata, perkantoran, pendidikan, jalan raya dan lain-lain.

Data ini sebenarnya sudah menunjukkan bahwa masyarakat bergerak menuju kota. Secara kultural kota adalah bentuk perkembangan baru habitat manusia untuk kehidupan politik, ekonomi, pengetahuan-budaya (Driyarkata, 2006). Kota seakan menjanjikan empat aspek sebagai habitat manusia yang sering disingkat 4H, yaitu humus, home, ”homo” dan habitat.

Kota sebagai humus adalah tempat produksi atau tempat bumi membagikan kesuburannya pada manusia. Home adalah kota sebagai tempat tinggal. Sedangkan yang ketiga adalah sebagai tempat manusia mengembangkan diri sebagai makhluk berakal dan berbudaya (Homo sapiens) bukan hanya makhluk yang mempertahankan diri.

Yang terakhir adalah aspek habitat, satuan teritorial, tempat yang diperlukan manusia untuk menjalankan proses produksi dan reproduksi kehidupan tanpa gangguan dari luar (Jo Santoso, 2006: 14).

 

Ekonomi Kota

Semua aspek ini dipersepsi sebagian besar hanya terdapat di perkotaan maka mulai banyak manusia yang hendak mengembangkan kehidupannya baik ekonomi, agama, budaya, sosial-politik di lingkungan perkotaan, meski tampaknya kota lebih banyak dianggap sebagai ruang ekonomi.Model pembangunan ekonomi di bagian mana pun di dunia termasuk di Indonesia sebenarnya juga mengarah pada pengembangan perkotaan walaupun karakter kota bisa saja berbeda.

Dalam buku Beberapa Fasal Ekonomi Djalan Keekonomi dan Kooperasi, pada bab pertama jilid pertama, Mohammad Hatta (1950) menulis tentang “Desa dan Kota dalam Perekonomian” semacam sebagai landasan basis perekonomian Indonesia.

Menurut Hatta, dalam buku yang ditulis selama dalam pengasingan itu (1935-1941), ekonomi dunia terbagi menjadi dua. ”Sebagian tampaknja senantiasa bergerak dan berubah, dan sebagian lagi senantiasa tetap. Atau seperti biasa disebut, jang sebagian bersifat dinamis dan jang sebagian lagi bersifat statis” (Hatta, 1950: 9).

Letak perbedaan ini adalah pada pusat ekonomi yang berlainan: desa dan kota.  Basis ekonomi desa adalah tanah dan musim yang hampir selalu tetap. Manusia mengikuti gerak alam tanpa hendak menaklukkan. Yang ditanam juga yang sudah lama diwariskan oleh tradisi tanpa hendak mengubahnya.

Manusia berada di bawah kolektivisme masyarakat tanpa adanya individu. Manusia harus patuh pada kehendak kolektif dan hidup di bawah kodrat alam. ”Demikianlah semangat ekonomi agraria! Tenang dan tetap, beredar menurut djalan jang biasa didjalani,” kata Hatta (1950: 12).

Di kota, manusia tidak lagi mengandalkan tanah sebagai basis ekonomi dengan mengikuti kodrat alam. Manusia terlepas dari tanah dan harus terus bergerak bekerja menguasai alam. Ekonomi kota berbasis industri, modal dan jasa (termasuk data/informasi dan kekayaan kultural) yang dipertukarkan dan diperjualbelikan.

Pasar–dari pasar tradisional sampai pasar saham antarnegara–dan penggunaan uang menjadi landasan ekonomi. Keahlian dan kemampuan individu sangat ditonjolkan dan menjadi tumpuan ekonomi. Kota menjadi fenomena spasial par excellence, sebuah fenomena ruang yang terjadi untuk mempercepat proses perkembangan peradaban (Jo Santoso, 2006: 15).

Kota menjadi modus ekonomi utama nation-state dan menjadi basis ekonomi-politik setiap negara. Peradaban manusia dibangun di kota-kota, menjadi simbol peradaban. ”Tidak salah kalau kota itu disebut orang ibu ekonomi dunia,” kata Hatta (1950: 15).

 



Nasib Desa

Yang menjadi pertanyaan sederhana adalah bagaimana nasib desa? Dulu, budayawan Emha Ainun Nadjib pernah berkata bahwa Indonesia, tentu saja termasuk kota-kotanya, adalah bagian dari desa. Sampai pada akhir 2011, data Kementerian Dalam Negeri menyatakan Indonesia memiliki 69.432 desa di 6.243 kecamatan.

Angka itu bagi sebagian orang tentu saja bisa mengesahkan bahwa pembangunan Indonesia sudah seharusnya dengan membangun desa yang begitu banyak yang sebagian besar terbelakang. Angka itu mengecoh sebenarnya. Produktivitas ekonomi desa dibandingkan kota tentu saja sangat jauh maka tidak bisa dijadikan basis kebijakan ekonomi-politik secara makro.

Kehendak ekonomis (dan) masyarakat tampaknya tidak mengarah ke ribuan desa itu sampai sekarang. Jutaan pemudik yang bergerak ke kota-kota Indonesia itu adalah buktinya. Belum lagi hasrat jutaan anak muda yang hendak dan akan menjadi manusia urban.

Ribuan desa kehilangan tenaga produktif setiap tahun dan desa banyak dihuni oleh petani-petani terakhir. Namun, manusia meskipun berhasrat menjadi manusia urban mau tidak mau tetap butuh makan yang dihasilkan oleh tanah.

Alam menghendaki keseimbangan atau manusia akan mengalami krisis ekologis seperti krisis pangan, lahan dan sebagainya. Saya percaya desa tak akan mati dan hilang. Desa akan melakukan reinvensi diri untuk mendukung kehidupan manusia, seperti menjadi area agrobisnis atau industri pertanian dengan dukungan teknologi, ilmu pengetahuan serta modal manusia urban dan desa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya