SOLOPOS.COM - Suharsih (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Study tour sudah sejak lama menjadi bagian dari dunia pendidikan Indonesia. Study tour dimaknai sebagai perjalanan wisata yang bermuatan edukasi atau pendidikan. Siswa diajak melihat secara langsung tempat-tempat bersejarah dan lainnya yang menjadi bagian materi pembelajaran di sekolah.

Sisi positif study tour yaitu memberi kesempatan para siswa belajar sekaligus berekreasi, melihat, dan mengalami secara langsung berbagai hal yang mereka pelajari di kelas, serta menciptakan kenangan yang akan mereka bawa hingga dewasa.

Promosi Gonta Ganti Pelatih Timnas Bukan Solusi, PSSI!

Sisi negatif study tour yaitu kerap diperlakukan sebagai kewajiban. Para siswa diwajibkan membuat laporan atau karya tulis dari study tour tersebut. Jika tidak, siswa tidak akan mendapatkan nilai.

Dengan biaya yang tidak sedikit, tentu memberatkan siswa dari kalangan keluarga tidak mampu kalau harus ikut study tour. Ada oknum di skeolah yang menjadikan study tour kesempatan “main proyek”, menjalin kesepakatan dengan biro perjalanan agar ada selisih biaya yang bisa masuk ke kantong pribadi.

Berbagai kejadian yang tak diinginkan seperti kecelakaan menjadi risiko yang harus dihadapi ketika sekolah mengadakan study tour. Kecelakaan study tour yang mungkin paling menyita perhatian adalah pada 2003 lalu.

Bus rombongan study tour SMK Yapemda, Sleman, DIY, mengalami kecelakaan di dekat PLTU Paiton, Probolinggo, Jawa Timur. Bus AO Transport yang mengangkut 54 siswa sekolah tersebut dalam perjalanan pulang dari Bali menuju Yogyakarta terbakar setelah ditabrak truk tronton dari depan dan belakang.

Seluruh penumpang meninggal dunia, kecuali kernet dan sopir. Baru-baru ini, kecelakaan rombongan bus study tour terjadi di Ciater, Subang, Jawa Barat. Bus Trans Putera Fajar yang mengangkut rombongan siswa SMK Lingga Kencana, Depok, mengalami kecelakaan di jalanan turunan Ciater, Sabtu (11/5/2024). Akibatnya 11 orang meninggal dunia.

Berbagai kejadian itu menimbulkan reaksi beragam dari berbagai pihak. Di Kabupaten Wonogiri, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan melakukan evaluasi setelah kejadian pelecehan seksual dalam perjalanan study tour akhir tahun lalu.

Dari hasil evaluasi itu kemudian diberlakukan pembatasan kegiatan study tour, di antaranya kegiatan belajar di luar kelas itu tidak boleh sampai menginap. Wilayah tujuan study tour dibatasi di Soloraya, Pacitan, dan Wonosari.

Pelarangan

Langkah yang lebih ekstrem diambil Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah. Dinas ini melarang sekolah negeri di bawah naungannya menyelenggarakan study tour.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah mengancam akan memberikan sanksi tegas kepada sekolah yang tidak mematuhi larangan tersebut. Pelarangan study tour memicu pro dan kontra dari berbagai pihak.

Banyak pihak yang menentang kebijakan tersebut. Pelarangan study tour mungkin memiliki niat baik yang didasari kekhawatiran kecelakaan tragis akan terulang pada sekolah lain.

Haruskah langkah seekstrem itu diambil? Haruskah sampai melarang study tour yang menjadi tradisi sejak lama? Tidak adakah opsi lain yang lebih solutif? Bagaimana pun ada sisi positif dan manfaat dari study tour yang seharusnya tidak diabaikan.

Apakah seurgen itu sampai harus melarang study tour? Urgensi itu misalnya jika study tour itu dalam praktiknya terjadi banyak pelanggaran dan penyimpangan sehingga merugikan para siswa maupun orang tua.

Jika itu alasannya, tentu seharusnya dilarang. Akan tetapi, jika penyebabnya melibatkan faktor eksternal dan faktor teknis lain yang bisa diantisipasi, alangkah baiknya ditinjau lagi apakah cukup urgen untuk melarang study tour.

Hal lain yang lebih penting, apakah dengan melarang study tour akan menjamin sekolah tidak mengadakan kegiatan tersebut? Langkah yang lebih bijak bukanlah melarang, tetapi meninjau dan memperketat aturan study tour.

Itu terutama yang berkaitan dengan pihak luar seperti penyedia jasa transportasi yang tujuan utamanya menjamin perjalanan study tour berlangsung aman, lancar, dan selamat sampai kembali ke daerah asal.

Lazimnya yang terjadi selama ini, sekolah sebagai penyelenggara study tour cenderung percaya saja kepada penyedia jasa transportasi dan jarang sekali mereka mengecek dan memastikan kelaikan kendaraan.

Alasannya karena sudah langganan, sudah saling kenal, dan sebagainya. Ketika terjadi hal yang tak diinginkan seperti kecelakaan, para pihak yang terlibat hanya bisa saling menyalahkan.

Aturan yang lebih ketat dan menyeluruh tentang study tour adalah solusi yang lebih baik dan mengakomodasi kepentingan semua pihak. Misalnya, sekolah wajib memastikan kondisi armada bus yang akan dipakai untuk study tour baik dan layak.

Caranya dengan meminta petugas Dinas Perhubungan mengecek secara langsung kelaikan dan kelengkapan teknis bus. Bila perlu Dinas Pendidikan setempat mengirimkan petugas pendamping ke sekolah yang mengadakan study tour.

Ini untuk memastikan semua hal tentang keselamatan dan keamanan peserta terjamin. Satu hal lagi yang perlu ditekankan adalah pemahaman bersama bahwa study tour bukanlah kewajiban.

Sekolah tidak boleh mewajibkan siswa ikut study tour jika memang tidak ingin atau tidak mampu ikut. Sekolah bisa memberikan tugas pengganti bagi siswa yang tidak mengikuti study tour sehingga mereka tidak merasa terpaksa untuk ikut.

Dengan begitu, tradisi yang telah berjalan lama bisa tetap dilakukan dengan aman dan selamat.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 22 Mei 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya