SOLOPOS.COM - Aris Setiawan (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Saya  sungguh terkesan setelah membaca pidato valediktori Paschalis Maria Laksono pada 4 April 2023 lalu. Ia adalah guru besar antropologi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Pidato itu semacam pamitan, menuju pensiun sebagai dosen pada usianya yang ke-70 tahun.

Saya tidak tahu apakah hanya saya yang selama ini tidak pernah mendengar, apalagi membaca pidato perpisahan seorang guru besar. Ataukah Profesor Laksono menjadi yang kali pertama melakukannya? Berbeda dengan pidato umumnya yang berangkat dari formalitas kaku, pidato perpisahan itu justru dinarasikan secara cair, selayaknya membaca cerita pendek, enak, dan ini yang lebih penting: bernas.

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

Saya sebut demikian karena pidato itu ditulis berdasarkan pengalaman-pengalaman langsung saat menjadi dosen, terutama dalam jabatan guru besar, kemudian diungkapkan ulang dengan penuh kesederhanaan. Hal itu seolah-olah berlawanan dengan pidato pengukuhan (pelantikan) guru besar yang sering kali bertaburan kata-kata langitan, sulit dipahami, alih-alih ilmiah, dan intelek.

Pamitan

Tulisan ini tidak hendak mengupas isi pidato valediktori Profesor Laksono, namun mengetengahkan betapa pentingnya pidato perpisahan bagi seorang buru besar. Kita tahu, guru besar adalah puncak karier tertinggi bagi seorang dosen. Untuk meraihnya tentu tidak mudah (kecuali para politikus?).

Seorang dosen kadang-kadang harus mati-matian berjuang untuk menjadi seorang profesor dan tidak jarang melegalkan segala cara (baca: perjokian dalam publikasi di jurnal internasional). Saat status guru besar diraih, batu pijakan pertama adalah menyampaikan ”pidato pengukuhan”.

Pidato itu menjadi bukti tingkat intelektual pada ilmu yang digeluti. Dipersiapkan dengan matang, ditulis dengan serius, diperdengarkan di hadapan penonton yang dianggap punya pengaruh. Pidato ini sering kali emosional, meledak-ledak, berupaya menumpahkan segala hal apa pun tentang ilmu pengetahuan yang dikuasai.

Sering bahasa yang digunakan hanya dimengerti sendiri oleh yang menyampaikan pidato, sementara tamu undangan yang datang hanya manggut-manggut dan sesekali menggaruk kepala. Maklum, pidato pengukuhan menjadi semacam ajang pamer, penuh gengsi, dan menunjukkan kualitas status (dari dosen biasa menjadi profesor atau guru besar).

Setelah menjadi guru besar, dosen-dosen sering kali larut dengan kegiatan birokrasi kampus, menjadi pejabat, dan sayup-sayup kita tidak lagi mendengar sepak terjangnya. Di ruang kelas, guru besar itu tentulah membawa paham dan wacana keilmuan yang khas. Mencoba dibagi dan diwariskan kepada para mahasiswa.

Tibalah menjelang pensiun. Acara seremonial dibuat sederhana. Berisi penyerahan sertifikat pensiun atau pementasan seni dengan sambutan-sambutan yang normatif. Kita tidak lagi melihat daya ungkap ilmu pengetahuan, novelty atau kebaruan paradigma, serta wacana-wacana paling anyar dari sang guru besar.

Pensiun adalah akhir dari semua. Setelah itu menjadi orang biasa. Gelar itu tetap ia sandang, tetapi sudah tak bertaji selayaknya sebelum pensiun. Apalagi jika menyangkut pendapatan atau gaji, pensiun tak ubahnya akhir dari capaian yang prestisius itu. Idealnya, pidato ilmiah yang sebenarnya dari seorang guru besar adalah saat purnatugas atau pensiun.

Dari pidato pamit menuju pensiun atau valediktori itu kita bisa melihat seberapa arif saat yang bersangkutan menjadi guru besar, apa saja yang berhasil ditorehkan, apa saja yang telah ia wariskan, serta bagaimana langkah ke depan setelah ia pensiun.

Yang paling penting adalah seberapa banyak ia memiliki empati untuk terus menularkan gagasan dan ide-ide yang baru. Degan kata lain, dikukuhkannya dosen menjadi guru besar sebenarnya adalah palang pintu pertama untuk ”bekerja” membawa perubahan, bukan akhir dari sebuah pencapaian.

Akhir

Selama ini yang terjadi justru sebaliknya. Acara pengukuhan guru besar senantiasa meriah, sementara saat purnatugas sepi dan sunyi. Kita masih meyakini bahwa pensiun adalah akhir dari perjalanan karier dosen. Karena itulah, tidak perlu dirayakan dengan gempita apalagi dengan pidato-pidato ilmiah.

Saya memandang hal tersebut salah, justru pidato valediktori adalah puncak dari perjalanan dan laku seorang guru besar. Dibanding dengan pidato pengukuhan, pidato perpisahan adalah rangkuman dari semua laku kerja yang dilakukan dan tidak jarang lewat pidato itu kita dapat mengetahui pengorbanan-pengorbanan besar dari sang guru besar.

Naskah pidato pamitan itu penting dirujuk dibanding naskah pengukuhan. Naskah pengukuhan selama ini berisi mimpi dan cita-cita mulia yang hendak dilakukan saat menjadi guru besar, sementara terminal akhirnya, sebagai ukuran keberhasilan, adalah pidato valediktori.

Valediktori Profesor Laksono yang membuat saya kagum adalah keterbukaan dan kejujuran dalam menyampaikan gagasan yang selama ini dia lakukan dibalut dengan pengalaman lapangan yang sangat intim (kata lain etnografis).

Dari situ saya melihat bahwa semakin dewasa seorang guru besar maka semakin bertafakur, semakin sederhana, bahkan semakin menyadari bahwa ilmu pengetahuan yang selama ini dimiliki hanyalah bagian kecil dari dinamika intelektual yang lebih besar.

Karena itu pula, ia berulang kali memohon maaf atas apa yang telah dilakukan. Bahwa kesombongan dan kepongahan hanya riak-riak kecil dalam berproses. Waktu kemudian menggeladi sekaligus menjadi filter akan hidup yang lebih arif dan bijak.

Valediktori seorang guru besar sekaligus menjadi tolok ukur, apakah yang bersangkutan mengalami pendewasaan berpikir atau masih meledak-ledak dengan menganggap siapa pun tak jauh lebih pandai darinya.

Dalam setiap diskusi selalu ingin menjadi nomor satu, tak mau kalah, dan apa yang diucapkan harus didengar. Hal demikian ini tak lain karena status guru besar yang disandangnya. Banyak guru besar yang demikian. Status profesor disandang justru membuatnya laksana “pesilat mabuk”, menantang siapa pun yang lewat di depannya.

Namanya mabuk, bahkan tiang listrik pun diajak berkelahi. Itu semata-mata karena anekdot bahwa seorang guru besar berarti sosok yang khatam menguasai tuntas ilmu pengetahuan di bidangnya. Kata-kata ”jangan main-main saya profesor” menjadi andalan.

Gelar akademis itu dipamerkan dalam berbagai kesempatan. Di kelas, mahasiswa adalah para jemaah, mendengarkan ceramahnya tanpa resistensi. Saat pensiun, tak berselang lama kita mendengar bahwa yang bersangkutan sakit-sakitan. Kita kemudian terlalu sulit melacak, apa sumbangsih dan warisan berharga yang dapat kita amalkan, selain kepongahan dan kesombongan diri sebagai guru besar yang banal itu.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 April 2023. Penulis adalah etnomusikolog dan pengajar di Institut Seni Indonesia Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya