SOLOPOS.COM - Moh. Khodiq Duhri (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – ”Silakan  diunjuk [diminum], Mas,” kata seorang perempuan paruh baya sembari menyodorkan secangkir kopi di hadapan saya di sebuah warung di tepi sawah di wilayah Kabupaten Sragen beberapa waktu lalu.

Warung itu berlantai tanah. Sebagian berdinding papan.  Sebagian lagi berdinding anyaman bambu. Bentuk warung ini hampir sama dengan warung makan yang biasa saya temukan di tepi sawah di kawasan Kabupaten Sragen.

Promosi Ijazah Tak Laku, Sarjana Setengah Mati Mencari Kerja

Sembari menyeruput secangkir kopi, saya mengamati orang-orang di sekitar saya. Satu hal yang menarik perhatian saya, walau berada di tepi sawah yang jauh dari permukiman penduduk, warung itu nyaris tak pernah sepi. Terutama pada pagi hari.

Saya ragu warga yang datang ke warung makan itu sekadar mencari sarapan. Jika benar karena ingin makan, mereka tidak mungkin berlama-lama di warung itu. Mereka biasa berjam-jam duduk di dingklik di warung itu.

Sambil menikmati kopi atau teh, mereka mengobrol banyak hal. Tema obrolan mereka tidak jauh dari pekerjaan mereka sebagai petani. Ihwal kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi atau keuslitan membasmi tikus yang merajalela. Keramaian warung di tepi sawah pada pagi hari itu kerap saya temui di Kabupaten Sragen. Banyak petani yang bersantai sambil menikmati kopi atau teh panas di warung-warung itu. Minuman menjadi teman mengobrol dengan sesama petani.

Saat sebagian besar orang memulai hari dengan bekerja, mereka bersantai di warung makan di tepi sawah. Pagi hari adalah waktu ketika sebagian besar buruh memulai pekerjaan di pabrik. Sebagian besar warga berangkat bekerja pagi hari karena mereka menganggap ini bukan waktu yang tepat untuk bersantai.

Tidak demikian dengan para petani itu. Mereka punya alasan memilih bersantai di warung makan sederhana di tepi sawah pada pagi hari. Berbagai persoalan yang membuat petani di Kabupaten Sragen pusing tujuh keliling. Salah satunya tentang hama tikus.

Lebih dari 25 orang meninggal akibat sengatan listrik di jebakan tikus beraliran listrik yang dipasang petani di Kabupaten Sragen. Tidak ada laporan korban jebakan tikus di daerah lain dengan jumlah warga meninggal dunia melebihi di Kabupaten Sragen.

Jebakan tikus menjadi senjata makan tuan. Sampai sekarang masih ada petani di Kabupaten Sragen yang memasang jebakan tikus berlistrik di sawah. Apabila Anda melintasi area persawahan di Kabupaten Sragen pada malam hari lalu melihat lampu-lampu yang menyala di tepi sawah, itu adalah jebakan tikus.

Lampu itu tanda Anda tidak boleh menginjakkan kaki di area persawahan itu. Mengapa manusia yang meninggal karena sengatan listrik di jebakan tikus begitu banyak di Kabupaten Sragen?

Musim tanam (MT) di Kabupaten Sragen terbagi tiga, yakni MT I pada November—Maret, MT II pada April—Juli, dan MT III pada Agustus—Oktober. Mestinya petani menggunakan pola tanam padi—padi—palawija mengingat ketersediaan air pada musim kemarau kurang.

Listrik Masuk Sawah

Petani di Kabupaten Sragen menyiasati kurangnya pasokan air saat musim kemarau dengan membangun sumur dengan mesin pompa submersible. Petani bisa panen padi padi 3—4 kali dalam setahun.

Pola tanam mereka bukan padi—padi—palawija, tetapi padi—padi—padi—padi. Petani harus mendatangkan aliran listrik ke area persawahan untuk menghidupan mesin pompa air.

Sejak Februari 2018 hingga Februari 2019, sebanyak 2.597 unit meteran listrik atau dengan total daya 7.966.100 volt meter (VA) terpasang di area persawahan di Kabupaten Sragen.

Pada Januari—Oktober 2019, PLN di Kabupaten Sragen melayani pemasangan 1.300 unit meteran listrik dengan total daya 5,2 juta VA. Listrik masuk sawah itu digunakan para petani untuk menghidupkan mesin pompa air di sumur-sumur yang dibangun di area persawahan.

Permintaan pemasangan meteran listrik di area persawahan di Kabupaten Sragen termasuk yang tertinggi di Soloraya, bahkan di Jawa Tengah. Penggunaan listrik ini bisa menghemat 50% biaya operasional untuk mengairi sawah.

Setelah terpasang, petani bisa membuka jasa pengairan sawah dengan harga Rp25.000/jam. Tingginya permintaan pemasangan instalasi listrik tersebut membuat PLN memperluas jaringan instalasi listrik.

Sebagian petani menginginkan meteran listrik dipasang di area persawahan yang jauh dari permukiman penduduk. PLN di Kabupaten Sragen harus menambah tiang dan jaringan kabel untuk menjangkau area persawahan.

Aliran listrik di area pertanian berdampak positif bagi petani. Petani bisa tetap mengairi sawah dengan pompa submersible meski pada musim kemarau. Aliran listrik di area persawahan itu juga menghadirkan masalah baru.

Para petani menggunakan listrik untuk membuat jebakan tikus. Penggunaan jebakan tikus beraliran listrik menjadi solusi instan bagi petani, tetapi dampaknya sangat berbahaya. Bila tidak ada listrik masuk sawah, barangkali tidak akan ada petani yang meninggal dunia karena jebakan tikus berlistrik.

Hama tikus benar-benar membuat pusing petani. Acaman pidana terhadap pemasang jebakan tikur berlistrik tidak digubris. Mungkin karena itulah petani di Kabupaten Sragen membutuhkan tempat untuk sekadar bercerita.

Warung makan di tepi sawah menjadi tempat yang tepat untuk bersantai sembari mengobrol panjang sembari menyeruput kopi yang makin menjadi dingin. Barangkali dengan diobrolkan di warung makan, mereka bisa menemukan solusi atas masalah yang mereka hadapi.

Barangkali dengan diobrolkan di warung makan, beban pikiran mereka sedikit berkurang. Warung makan di tepi sawah itu menjadi lokasi tepat untuk healing, tempat rekreasi, bagi sebagian petani di Kabupaten Sragen.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 4 Juli 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya