SOLOPOS.COM - Albertus Rusputranto P.A. (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Menjelang dini hari 29 Desember 2019, Suprapto Suryodarmo alias Mbah Prapto meninggal dunia. Tutup yuswa pada usia 74 tahun. Saya tahu Mbah Prapto sejak saya masih kecil karena sering main ke Padepokan Lemah Putih (PLP), tempat tinggal Mbah Prapto.

Mulai 1999 saya baru benar-benar bergaul dengan Mbah Prapto. Mengenalnya sebagai tokoh kesenian, sosok besar yang seolah-olah tak terjangkau kami, para pemula, sampai justru kemudian menjadi teman dan “simbah” kami. Dialah yang sejak awal kenal telah mendudukkan saya—dan banyak teman muda lainnya—sejajar dengannya: sebagai partner sharing.

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Mbah Prapto senang berbincang, apa saja. Dari tema obrolan yang remeh hingga yang berat. Banyak hal yang semula kami anggap sekadar informasi ringan, ternyata dia sikapi sebagai sesuatu yang penting. Bagaimana yang remeh  bisa menjadi penting di hadapan Mbah Prapto?

Pertama-tama karena Mbah Prapto mempersoalkannya. Informasi, pengetahuan, juga ilmu, bisa datang dari mana saja. Mbah Prapto bukan orang yang suka membaca. Dia hidup dalam tradisi lisan. Mbah Prapto “membaca” lewat telinga, karena itulah suka berdiskusi, berbincang, berdebat.

Ada tiga model Mbah Prapto memancing diskusi/debat. Pertama, bertanya. Biasanya ketika sedang ingin tahu suatu hal. Kedua, melempar pernyataan. Ini biasanya ketika menguji pengetahuannya. Ketiga, memersuasi. Ini biasanya ketika merasa perlu memperjuangkan sesuatu.

Dalam diskusi, dalam debat, yang sehat, selalu ada kritik. Sebagaimana keutamaan debat, keutamaan kritik juga untuk menemukan kebaikan bersama, kemaslahatan bersama. Kritik berlandaskan pada, di antaranya, kesadaran kritis, akal budi yang sehat, diskusi yang bebas penguasaan, dan upaya menemukan kemaslahatan bersama.

Di atas keutamaan diskusi dan kritik itulah bangunan Joget Amerta didirikan Mbah Prapto. Apa hubungan Joget Amerta yang adalah seni gerak, movement art, yang adalah seni srawung, sharing art, dengan diskusi/debat dan kritik?

Target utama dalam praktik Joget Amerta, menurut beberapa teman seniman yang pernah belajar pada Mbah Prapto, adalah menemukan diri sendiri. Menjadikan ”yang potensial” menjadi ”yang aktual”. Menemukan diri sendiri ini dilakukan dengan cara, pertama-tama, menerima kehadiran orang lain.

Penerimaan tersebut terjadi bukan dengan pasif mempersilakan orang lain hadir dalam dirinya, tetapi justru karena secara aktif saling memberikan diri sekaligus menerima kehadiran orang lain pada dirinya. Orang lain yang berdialog dengannya menjadi pantulan keberadaan dirinya: saling memantulkan.

Joget Amerta menjadi hal ihwal berbagi, sharing: srawung. Pada masyarakat Jawa tradisional ada ungkapan ora lokak malah kebak (tidak berkurang, tapi justru menjadi penuh). Ungkapan tersebut merupakan sebuah nilai, kristalisasi praktik-praktik hidup komunal masyarakat Jawa yang hidup dari srawung.

Dalam konteks Joget Amerta, penemuan diri yang substantif, yang terus bergerak dan bertumbuh, didapat justru saat kita memberikan diri kepada orang lain: srawung. Kata srawung (bahasa Jawa) dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai ”bergaul”. Bukan berbagi.

Kata sharing (bahasa Inggris) dalam bahasa Indonesia diartikan pertama-tama sebagai ”berbagi”. Bukan ‘bergaul’. Mbah Prapto memadankan srawung sebagai sharing sebab berbagi tidak akan menemukan kepenuhan kalau tidak bergaul; srawung dulu, bergaul dulu.

Srawung ini terbuka terhadap keberagaman; lintas budaya, lintas agama, lintas disiplin ilmu, dan sebagainya. Joget Amerta dengan konsep srawung menjadi wadah perjumpaan keberagaman tersebut. Itulah yang akhirnya membuat Joget Amerta bisa hadir di mana saja dan dikategorikan sebagai apa saja.

Meskipun Joget Amerta tidak bisa tidak disebut sebagai ekspresi artistik, kesenian, tidak menutup kemungkinan dimaknai sebagai healing, ritual, upacara, dialog alam, daialog lintas agama, dan sebagainya. Mbah Prapto, sebagai perumus awal, akhirnya mempunyai banyak identitas: seniman gerak, seniman kontemporer, shaman dancer, budayawan, spiritualis, guru, empu, networker, cendekiawan, organizer, dan sebagainya.

Orang yang tertarik untuk berguru atau bergaul dengannya beragam. Ada dari kalangan seniman (berbagai bentuk kesenian), rohaniwan (berbagai kepercayaan agama), aktivis (berbagai bidang), cendekiawan, sejarawan, pebisnis, politikus, pedagang pasar, dan sebagainya; dari berbagai latar belakang kebudayaan/negara/bangsa yang beragam pula.

Di antara orang-orang yang berguru dan bergaul dengannya, terbuka (bahkan didorong!) untuk saling bertemu, berdialog, sesrawungan. Bisa dibayangkan betapa riuh, meriah, dan ”kaya” sesrawungan dalam Joget Amerta. Meskipun hasil sesrawungan tersebut pada akhirnya tergantung pada mereka sendiri; seberapa bisa mengambil buah sesrawungan tersebut.

Gerak dalam Joget Amerta, setahu saya, tidak ada patokan baku sebagaimana dalam seni tari. Tidak ada yang disebut vocabulary gerak. Setiap orang yang mempraktikkan punya model, gaya, bentuk gerak yang berbeda-beda, tergantung potensi yang diaktualisasi pada pribadi masing-masing.

Seorang penari, misalnya, mungkin mempunyai irama dan bentuk gerakan yang indah, sesuai  kaidah tari, beda dengan yang bukan penari. Gerak tubuh seseorang yang melakukan Joget Amerta didorong “getaran dari dalam” dan, atau, sebagai reaksi atas aksi (gerak) orang lain. Gerak dalam Joget Amerta adalah ajakan atau penerimaan untuk berdialog, berdiskusi.

Masing-masing akhirnya diharapkan bisa memberi dan mendapatkan kemaslahatan dari praktik gerak yang mereka lakukan. Buah kemaslahatan bersama ini berbeda-beda, tergantung apa yang dicari, tetapi untuk bisa mendapatkannya, masing-masing harus bisa menemukan dirinya terlebih dahulu.

Ada beberapa teknik yang dirumuskan Mbah Prapto dalam workshop-workshop yang diampunya untuk melakukan dialog tubuh. Semuanya bermuara pada terjadinya peristiwa sharing, srawung; berdialog, berdiskusi. Joget Amerta pada mulanya sangat identik dengan keseluruhan hidup Mbah Prapto.

Bukan buah olah pikir semata. Joget Amerta pada akhirnya bertumbuh, berkembang “dengan sendirinya”, seturut banyak orang yang mempraktikkannya. Joget Amerta rupanya tidak hanya menumbuhkan pribadi yang mempraktikkan, tapi juga turut bertumbuh saat dipraktikkan.

Sulit dibayangkan seandainya Joget Amerta ini harus secara masif dilembagakan, apalagi dalam bentuknya. Joget Amerta hidup dan tumbuh dalam dialektikanya dan karena itu hal yang paling pasti darinya adalah perubahan. Perubahan yang tidak pernah menjadi selain dirinya sendiri, tetapi juga tidak pernah kembali sama. Seperti putaran waktu.

Arsip

Pada akhir September 2022 lalu, 1.000 hari sudah Mbah Prapto meninggalkan kita. Pada 24-29 September 2022, keluarga (anak dan cucu), dikoordinasi oleh Melati Suryodarmo, putri sulung Mbah Prapto, menyelenggarakan serangkaian acara peringatan 1.000 hari meninggalnya Mbah Prapto berupa pameran arsip bertajuk 1.000 Hari dan Selamanya.

Acara ini disengkuyung para sahabat dan murid-murid Mbah Prapto yang datang dari berbagai tempat, dari dalam dan luar negeri. Pameran di Galeri Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) di Kota Solo itu menghadirkan arsip-arsip Mbah Prapto, dokumen-dokumen, foto-foto, kliping media massa, buku-buku hasil penelitian dari beberapa peneliti yang meneliti Suprapto Suryodarmo (kebetulan belum diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan belum diterbitkan di sini), video dokumenter, pakaian, dan beberapa lainnya.



Selain pameran arsip, acara nyewu Mbah Prapto juga dirangkai dengan beberapa kegiatan yang khas Mbah Prapto: workshop gerak, sharing movement, dan diskusi (sarasehan). Melati, pada pembukaan pameran, Sabtu (24/9/2022), mengatakan arsip yang dihadirkan sangat terbatas.

Masih sangat banyak arsip yang belum dihadirkan. Perlu banyak lagi upaya mengarsipkan jejak-jejak pemikiran dan kegiatan-kegiatan yang diprakarsai Mbah Prapto di berbagai tempat, di berbagai negara. Publikasi ilmiah hasil penelitian beberapa peneliti, yang juga muridnya (dan kebetulan tidak berasal dari Indonesia), sebenarnya ada. Lebih dari tiga judul buku.

Belum satu pun yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan belum satu pun yang diterbitkan di negeri ini. Buku-buku tersebut menuliskan rumusan dan metode workshop Mbah Prapto serta Joget Amerta. Publikasi ilmiah tersebut hanya sedikit dari mozaik pemikiran Mbah Prapto dalam dunia kesenian dan workshopnya.

Rumusan pengetahuan dan metode yang dikembangkannya semakin menyebar, ditularkan dan dipraktikkan oleh murid-murid dan “cucu-cucu muridnya” di berbagai belahan dunia. Saya kira, selain pengarsipan berbagai macam dokumen (dalam bentuk teks, visual, maupun audiovisual) kegiatan yang sudah dilakukan Mbah Prapto, sangat perlu penelusuran jejak-jejak pemikiran Mbah Prapto.

Terutama rumusan pengetahuan serta metode kesenian dan workshop yang telah sumrambah, menyebar dan bertumbuh, sampai pada murid-murid dan cucu-cucu muridnya.  Penelusuran/pengarsipan pemikiran (rumusan pengetahuan dan metode) Suprapto Suryodarmo adalah upaya penting untuk terus-menerus menumbuhkan serta merawat konsep dan praktik Joget Amerta—juga konsep dan praktik workshop-workshop—serta dialektikanya, untuk kemaslahatan bersama.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 Oktober 2022. Penulis adalah pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya